Persiapan Pindah Negara (Merantau)
Ga dipungkiri ya, sangat mungkin kita dihadapkan pada kondisi harus merantau. Nah kalo persiapan teknis, menurut saya akan sangat bergantung dengan negara/kota tujuannya. Dengan kata lain, akan lebih tepat sasaran kalo nanya langsung ke orang yang bermukim di tempat tersebut (untuk persiapan teknis pindahan ke Swedia dan Belanda mungkin akan dibahas di tulisan lain).
Kali ini saya mau sharing tentang persiapan nonfisik alias persiapan mental. Menurut saya bab ini lebih krusial. Kalo urusan teknis semisal bawa apa aja, ini mah gempil. Nah urusan yang didalem hati nih, yang kadang dianakduakan padahal buat saya sih (jauh lebih) penting. Karena biar gimana, pindahan apalagi beda negara adalah milestone hidup yang besar, yang boleh jadi ga sederhana prosesnya.
Jangankan pindah benua, jangankan pindah negara, pindah provinsi aja walau sama-sama di Indonesia bisa butuh adaptasi, bisa butuh persiapan hati. Dan memang persiapan tentunya lebih baik diketahui dan dilakukan di awal, biar proses adaptasi lebih lancar.
Sebagai background story, saya ditakdirkan untuk merantau keluar Indonesia itu di 2014 ke Gothenburg Swedia, lalu di 2019 ke Eindhoven Belanda (langsung dari Swedia). Jujur saya sempet banget ngerasa homesick, lucunya, tanpa saya langsung sadari.
Keukenhof, Musim Semi, 2021
Jadi waktu Juli 2014 merantau ke Swedia, saya dalam kondisi hamil besar. Jadilah tahun pertama di rantau, saya tuh sulit membedakan dan memahami perasaan; homesick, kaget winter, adaptasi ngurus bayi, semua terjadi dalam satu wakru. Ditambah, waktu itu umur saya ‘masih’ 22 tahun.
Kalau di flashback sekarang bisa dibilang saya baru ‘nyadar’ kalo waktu tahun pertama merantau itu saya ternyata mengalami homesick. Pas lagi dijalani malah gak ngeh, kirain perasaan ‘gak enak’ dalem hati itu karena kaget sama winter ditambah baru punya bayi ‘aja’. Sekarang saat udah lebih jernih bisa melihat kondisi, baru deh memahami, ternyata dulu itu saya kangen tanah air juga, ditambah proses adaptasi dengan negara baru.
Nah langsung aja, begini kurang lebih saran persiapan versi saya setelah merefleksikan perjalanan merantau kurang lebih 7 tahun ke belakang. Ternyata gak banyak kok : )
1. Kenali Budaya Setempat Terlebih Dahulu
“Tak kenal maka tak sayang”, ya memang begitulah adanya. Ada satu prinsip dalam merantau yang saya pegang, yakni, pasti ada yang bisa kita pelajari dari tempat/budaya setempat. Akan lebih nyaman bagi hati, saat kita memandang episode merantau sebagai sarana dari Allah untuk kita belajar sebanyak-banyaknya, termasuk perbedaan karakter/budaya setempat. Eits, bukan berarti jadi latah lantas inferior complex dan memandang budaya sendiri jadi lebih rendah ya. Pelajari dan serap yang baik, tinggalkan dan kritisi yang tidak sesuai.
Ada contoh menarik perihal bab ini. Budaya Swedia itu orang-orangnya cenderung tidak pandai basa-basi, cenderung pemalu dan tertutup. Nah, kalau gak paham, bisa-bisa kita berburuk sangka dan mengira kalau mereka itu gak suka dengan kita lah, dsb. Padahal, memang begitulah karakter masyarakatnya, yang ternyata maksudnya sebenarnya ‘baik’ yaitu mereka gak mau mengusik orang lain, relatif sungkan, dan mau memberikan kita privacy.
Kadang dengan memahami alasan seseorang (atau suatu budaya), pikiran kita bisa jauh berubah.
Tentunya akan jauh memudahkan kalau kita udah cari tahu diawal tentang budaya dan karakter penduduk setempat tempat merantau.. Bisa lewat youtube atau tanya orang yang sudah menetap duluan disana (hal terakhir ini akan berkaitan dengan poin selanjutnya).
2. Connect with the (good) people
Ya, aspek manusia ini penting banget sih kalo buat saya. Ibarat kata, kalo melihat dari filosofi ‘berpindah’ paling dahsyat sepanjang hidup kita yakni proses kelahiran (berpindah dari alam rahim ke alam dunia), apa sih kebutuhan esensial kita? Seorang ibu. Seorang manusia baik yang mau membantu kita beradaptasi untuk memahami tempat yang baru, mendampingi kita dalam orientasi tempat yang masih asing.
Poin ini sepenting itu buat saya.
Karena tanpa adanya teman/kenalan yang ‘nyambung’ bisa sangat mungkin kesepian menghampiri, tak peduli seramai maupun sepadat apa tanah rantau. Dan jangan dikira remeh, loneliness itu bisa jadi toxic sekali.
‘People’ disini bisa orang Indonesia maupun penduduk setempat. Kalau ada orang Indonesia yang cocok sih tentunya akan lebih memudahkan ya. Bahasanya sama, jokes-nya sama, makanannya sama, dsb. Beruntungnya kita sebagai orang Indonesa yang pada umumnya ‘guyub’, alias senang berkumpul, mudah menerima kenalan baru (cepat akrab), senang membantu, dan suka ngobrol (termasuk basa-basi). Tentu memang gak semua orang itu bisa cocok. Dan memang gak perlu juga untuk klop sama semuanya. Satu atau dua kenalan tapi berkualitas udah sangat cukup jadi jalan pembuka kita semakin mengenal tempat baru dan beradaptasi.
Contoh lagi ya. waktu awal pindah ke Belanda dari Swedia, saya sempet galau. Walau diawali sama excitement, setelah sekian hari dan sekian minggu, mulai berasa juga tuh 'asing'-nya. Tapi alhamdulillah untungnya saya udah coba cari kontak kenalan dari sebelum pindah (untungnya ada teman satu kampus S1 dulu), jadi gak lama kemudian seiring ketemu teman-teman baru, dan dikenalkan ke circle yang lebih besar rasanya langsung jauh lebih betah.
Nah saran saya, terutama kalau sama sekali belum ada yang dikenal di (calon) tanah rantau, coba kontak atau cari tahu tentang perkumpulan pengajian Indonesia atau perkumpulan pelajar (kalau kita student) di kota itu. Pas di Swedia, status kami adalah pelajar (dan kemudan suami lanjut kerja), jadi kami otomatis kontak sama Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Gothenburg. Adanya PPI ini hal mewah yang di negara lain (pada umunya) ga ada lho. Again, pembuktian bahwa orang Indonesia itu senang guyub, Berlian mahal negeri kita :')
Biasanya teman PPI punya banyak program yang memudahkan pendatang baru. Kalau di Gothenburg sendiri di zaman itu, kami biasa membantu teman yang baru datang untuk dijemput ke bandara dan diantar ke akomodasi baru (karena kan biasanya masih awam dengan sistem transportasi dan sebagainya disana). Belum lagi, biasanya ada aja tuh barang-barang 'harta karun' peninggalan sesepuh-sesepuh yang udah back for good. Kami sendiri dulu karena termasuk yang cukup lama tinggal di Gothenburg, udah langganan jadi penitipan barang-barang peninggalan, hehe. Jaket winter aja ada selusin lebih, penuh sekardus ukuran kulkas 2 pintu. Selain itu biasanya ada pertemuan rutin, jadi kita bisa ketemu dengan sesama perantau pelajar Indonesia lainnya.
Nah, pas merantau ke Belanda, status kami udah bukan lagi student, jadi kurang relevan dong kalau kontak PPI, hehe. Tapi syukur alhamdulillah, ada perkumpulan pengajian baik ibu-ibu (untuk saya) dan bapak-bapak (untuk suami). Kemana pun merantau, bahkan kalau nanti kembali ke tanah air pun, saya berusaha untuk terus punya lingkungan pengajian. Menurut saya penting sih untuk gabung ke pengajian gitu, karena sangat memudahkan untuk bertemu dan terpapar teman-teman yang memiliki orientasi sama (mementingkan kehidupan akhirat, biar gak terlalu fokus di hal duniawi, hiks).
Merawat qalbu adalah tanggung jawab tiap individu, dan memaparkan diri ke teman-teman (baca= lingkungan) yang baik adalah salah satu jalan selamatnya. Lingkungan yang mengingatkan kepada Allah dan bikin makin mempersiapkan diri ke kehidupan akhirat.
Prinsip yang berusaha saya pegang; dimana pun kaki berpijak, Tuhannya tetap sama, tempat memintanya tetap sama. Maka, menjauh dari tanah air jangan sampai jadi alasan kita jadi menjauh dari-Nya, pemilik seluruh tanah tempat kita berpijak. Jangan lupa juga, doa! : )
3. Pasang mindset yang sesuai
Apa aja?
- Growth mindset
Biarkan diri kita bertumbuh dan berproses. Jangan bandingin diri kita sama orang lain sehingga bikin minder, dan jangan juga kepala batu gak mau mempelajari hal baru. Hargai proses diri kita untuk belajar dan berkembang. Yang penting diri kita mau belajar dulu aja, jangan punya mental block duluan terhadap suatu hal. Hal tersebut udah akan sangat memudahkan adaptasi.
Dulu, pas awal pindah ke Swedia, saya sempet banget minder sama ibu-ibu lain yang udah cekatan banget ngurus rumah dan anak-anak. Tapi seorang teman mengingatkan untuk jangan bandingin diri kita sama orang lain, mereka udah punya waktu tahunan mengasah pengalaman, sedangkan kita baru memulai, itu gak adil namanya. Saya pun jadi tersadar, lebih baik bandingkan saja progres diri kita sendiri.
- Implementasi kalimat tauhid
Merantau jadi sarana besar bergantung hanya kepada Allah. Boleh jadi banyak kemudahan hidup di tanah air akan hilang, dan akan jadi momen kita membuktikan bahwa bergantung hanya kepada Allah.
Ada masanya, pas suami harus fokus menyelesaikan disertasi S3, bertepatan saya baru melahirkan anak kedua. Di saat yang sama harus handle bayi baru, menangani kecemburuan sang kakak, tapi suami perlu lebih banyak di kampus. Beliau jadi lebih sering pulang terlambat, bahkan kadang akhir pekan pun harus ke kampus.
Rasanya udah diujung lidah mau mengeluh. Tapi Ia ‘selamatkan’ dengan dikasih mikir “ngeluh ke suami juga apa manfaatnya? padahal beliau juga di kondisi butuh support, butuh diringankan hatinya.” Akhirnya segala keluhan kembali bermuara ke langit, ke tempat yang paling tepat dan solutif; Allah saja. Mulai kesentil untuk merutinkan dzikir pagi dan petang juga karena momen ini. Dan ternyata masyaAllah episode itu terlewati dengan indah dan disyukuri. Untung gak jadi ngeluh dan drama syalala :”)
- Mindset Pembelajar
Pasang mindset bahwa segala sesuatu yang terjadi ada untuk mengasah diri. Hal yang baik diserap, yang buruk jadi pembelajaran. "Bersama kesulitan, ada kemudahan" (QS. Al-Insyirah). Misal, memang sih di rantau ini naik sepeda, lebih capek ga gampang nge-ojol aja atau naik mobil pribadi kayak di Indo, tapi bersama naik sepeda itu ada hidup yang lebih sehat aktif bergerak, ada udara bersih yang terhirup, ada pemandangan cantik menyegarkan pikiran (jauh dari macet sumpek ibukota), ada suara-suara burung menenangkan jiwa.
Memang sih, di tanah rantau gak ada mbak ART yang bisa masakin kapan aja, gak ada gofood yang tinggal pencet dateng..
Tapi, bersama 'kesusahan' itu ada skill memasak yang meningkat, ada badan yang lebih sehat karena rutin diberikan makanan homemade, ada finansial yang lebih bijak terkelola, ada anak-anak yang suka dan rindu terus masakan bundanya, dan sebagainya.
Begitulah kurang lebih tiga poin utama yang menurut saya perlu disiapkan; kenali budaya setempat, cari teman/lingkungan yang baik, dan pasang mindset yang tepat. Jujur aja, saya sangat kagum dan menghargai teman-teman yang bertanya ‘what to prepare’ kayak gini, dalam hal apapun. Cerdas aja gituh, karena tentunya persiapan diawal itu jauh lebih aman dan menenangkan daripada kelabakan atau penyesalan diakhir.
Kirain bakal pendek ternyata lumayan juga yaa elaborasinya. Semoga bermanfaat!
Eindhoven, Mei 2021
Comments
Post a Comment