Memaknai Hari Tua, Mengenang Oma Nurma

Tepat sebelas tahun yang lalu, 22 April 2007, satu sosok istimewa dalam hidup kami, berpulang menghadap-Nya.

Ialah nenek kami tercinta, Oma Nurma, ibu dari Mama.

Sebelas tahun, dan rasanya masih jelas memori kebersamaan yang begitu menghangatkan. Sebelas tahun, dan rasa cinta yang beliau tanamkan masih sanggup mendorong hati ini melangitkan doa kapan saja teringat akan beliau. Sebelas tahun, yang terasa seperti baru saja.

Ya Rabb, ampunilah Oma, berilah tempat ternyaman bagi Oma..

Oma adalah pemberi pelukan pada saat-saat dibutuhkan. Oma adalah pemberi inspirasi tanpa beliau bahkan menyadari. Oma adalah perekat banyak jiwa dengan ketulusan dan kebersihan hatinya. Empat belas tahun Oma membersamai hidup saya, mengisi jiwa sampai masa baligh tiba.

Oma bukan lah sosok yang punya segudang 'prestasi dunia', apalagi jabatan. Bahasa Indonesia pun Oma ga lancar (alhamdulillah berkat beliau cucu-cucunya jadi belajar bahasa minang). Oma ga terikat pekerjaan apapun, jabatan, perkumpulan komunitas, apalagi bersosialita(?). Intinya, Oma sederhana dan bersahaja.

Tapi kebaikan dan ketulusan beliau terhadap cucunya, begitu melekat dan nyata. Dan apa sih yang kelak akan diharapkan selain bait-bait doa akan terus mengalir dari para anak-keturunan sepeninggal kita?

Hari-hari Oma diisi dengan ibadah, ibadah, dan ibadah. Dini hari Oma sudah bangun dan melaksanakan shalat. Oma shalat dengan bacaan yang lirih terdengar. Di akhir hidupnya, Oma harus shalat sambil duduk karena sudah kepayahan. Kalo ada satu nasihat Oma yang paling membekas (karena seringnya diulang-ulang) adalah perihal shalat; "Jangan pernah tinggalin shalat. Shalat lah." 

Setiap hari, Oma tak lepas dari mushaf alquran. Ukurannya harus yang terbesar, karena mata Oma sudah tak awas lagi. Pernah suatu hari kacamata Oma rusak, Oma terlihat sedih. Oma sedih karena akibatnya berhari-hari Oma ga bisa baca alquran. iie kecil hanya mengamati, mencoba mengartikan, dan menangkap makna dari sudut pandang anak-anak.

Tiap lagi berduaan, saya suka minta Oma cerita. Kadang Oma yang mulai cerita sendiri. Oma suka cerita tentang masa lalu, baik tentang pengalaman hidup beliau maupun orang sekitar. Tanpa beliau sadari, kisah-kisah yang beliau tuturkan (sekalipun seringkali berulang-ulang) mengajarkan hikmah dan mengayakan cara pandang tentang hidup. Saya jadi terbayang sedikit-sedikit tentang situasi zaman penjajahan dulu di kampung, tentang gimana roda hidup berputar, dan sebagainya.

Selain nasihat lisan, Oma juga memberikan afeksi fisik yang dibutuhkan jiwa. Kami dapat memeluk bahkan iseng ndusel-ngusel(?) kapan aja semaunya. Rasanya nyaman aja berada di dekat beliau. Pembawaan beliau yang tenang dan senang bikin aura jadi menyenangkan. Indah banget rasanya bisa melukin kapan aja.

Diatas itu semua, ada satu hal yang iie kecil pelajari dalam-dalam dari sosok Oma. Oma memang senang bercerita, senang memberi nasihat, siap dipelukin, tapi ada hal lain yang lebih istimewa. Yakni, dengan mengamati Oma sehari-sehari, secara tidak langsung beliau mengajarkan bagaimana cara menghabiskan hari tua.

Dari keseharian beliau yang sederhana, iie kecil memperhatikan, bahwa pada akhirnya di penghujung usia harta benda bukanlah segalanya. Oma menunjukan mewahnya rasa tenang tanpa dipusingkan urusan materi.

Dari keseharian beliau yang sederhana, iie kecil merasakan, bahwa pada akhirnya keluarga adalah yang utama. Oma mungkin ga dikenal banyak orang, tapi yang pasti beliau berhasil menawan hati para cucunya. Saya ga malu punya Oma yang 'biasa-biasa saja', bukan yang bergelar bangsawan atau yang menurunkan warisan miliaran. Saya justru bangga. Bangga sekali karena bisa punya sosok penuh kasih sayang yang utuh ada baik secara fisik, jiwa, dan doa.

Dari keseharian beliau yang sederhana, iie kecil jadi tahu, bahwa amalan itu tidak harus soal prestasi dunia yang berderet panjang. Ketulusan mewarnai sosok-sosok kecil di keluarga bisa menjadi amal jariyah yang istimewa. Siapa yang paling mungkin akan mengingat kita dalam doa selain anak keturunan sendiri?

Tanpa Oma sadari beliau mengajarkan, bahwa cintai dulu ibadahmu, mata-mata kecil itu akan melihat, akan mengamati.

Tanpa Oma sadari beliau mengajarkan, apa yang dilakukan dari hati (yang bersih) akan sampai pula ke hati.

Tanpa Oma sadari beliau mengajarkan, bahwa nasihat di lisan, sama pentingnya dengan nasihat melalui teladan.

Semoga sepotong tulisan ini, yang diambil dari pemaknaan seorang cucu yang (saat itu) masih belia, bisa menjadi sedikit pemberat amal Oma. Tulisan ini juga sekaligus wujud syukur atas nikmat besar yang Allah berikan melalui kehadiran sosok Oma dalam hidup saya. Oma sudah menjalankan tugasnya; mencontohkan dan mengatakan. Kini tinggal bagaimana kami bisa mengambil dan menjalankannya.

Ya Rabb, hamba menyayangi Oma, tapi hamba yakin Engkau lebih menyayanginya. Ya Rabb, lapangkanlah kubur Oma, jauhkan Oma dari siksa kubur. Ampunilah dosa Oma, sebesar apappun itu. Terimalah segala amal ibadah Oma, sekecil apapun itu. Rahmatilah Oma..



here is about your great grandma's legacy


Cukuplah kematian menjadi sebaik-baik nasihat, wahai diri. Perbaiki dan perbaiki lagi. Ingatlah saat jasad sudah menyatu dengan tanah, bagaimanakah nasibnya?



Comments

Popular posts from this blog

Persiapan IELTS Tanpa Preparation Class

Jalan-jalan Turki day 1: Ephesus!

Cerita Kehamilan di Indonesia dan Swedia