komunikasi produktif kepada anak #day1
Tugas pertama kelas Bunda Sayang kali ini adalah tentang komunikasi di keluarga, boleh pada anak maupun suami. Menurut sayabpaling utama benerin ke duami dulu sih ya. Tapi biarlah poin komunikasi terhadap suami diabadikan dalam catatan pribadi aja, ga di blog umum kaya begini, hehe.
Okelah, poin pertama komunikasi produktif pada anak yang mau saya ambil adalah mengenai kaidah 7-38-55. Jadi dalam literatur di materi (saya lupa nama sumbernya, mehrabian gitu?) kata-kata hanysbberpengaruh 7% terhadap keberhasilan komunikasi, 38% nya dari intonasi, dan 55% dari bahasa tubuh.
Termasuk dalam bahasa tubuh adalah tatapan mata. Poin ini bukan hanya tentang bagaimana diri ini harus bersikap (mengirim sinyal) tapi juga termasuk bagaimana diri ini memahami pesan orang lain (menerima sinyal) yang bisa dikirim melalui tiga medium tersebut juga. Maka dalam komunikasi tatap lah mata mereka, pahami apa yang ada dibalik pancaran sinar mata dan bahasa tubuh mereka. Ini lebih efektif ketimbang sekedar mencerna kata (apalagi dari anak-anak yang masih serba terbatas kemampuannya).
Termasuk dalam intonasi adalah nada suara, lebih efektif dengan frekuensi rendah. Kerasa sih, anak saya lebih gamoang deket sama orang yang kalo ngomong tenang dengan frekuensi rendah ketimbang yang nyaring atau cepet banget ngomongnya. Jadi sekarang, usahakan berbicara frekuensi rendah. caranya? tenang. gimana biar tenang? tarik nafas panjang, senyum, doa, dan bertenang. cara untuk tenang ya tenang.
lalu pahami lawan bicara, selami kata-kata, intonasi, bahasa tubuh, dan pancaran mata mereka.
day 1 - 9 Juni 2017
Hari ke empat mudik di Indonesia, setelag perjalanan panjang 26 jam door-to-door dari Swedia. Asiyah masih jetlag, begitupun saya. Malam tetap tidur relatif normal, sekitar jam 9 ia udah tidur. Tapi ternyata, bukan tidur panjang ala night sleep, melainkan cuma tidur 2-3 jam lalu bangun seger seolah naptime. Saya yang udah teler berat seolah berada di persimpangan, antara gemes pengen tidur lagi tapi juga tahu ini bukan salah asiyah, bukan dia yg iseng pengen gangguin tidur emaknya kan. Maka ditengah kesadaran yg tipis itu, materi di IIP dikit-dikit masih nyangkut juga, alhamdulillaaah bisa rada jernih bersikap dan berkata. Saya putuskan menemaninya sambil tetap tiduran, lampu kamar tetap temaram, yang utama adalah tanpa kebawa emosi negatif. Bisa menahan amarah di situasi ga ideal (cape/ngantuk/laper/dsb) itu hal luar biasa banget menurut saya. Kebahagiaan yg lebih tinggi itu bukanlah bisa menaklukan anak ngikut mau kita dengan segala cara (walopun dengan 12 gaya parentogenik misalnya), melainkan bisa menahan emosi/amarah/nafsu sehingga pesan komunikasi tetap tersampaikan. Bismillahh!
Comments
Post a Comment