Tentang TV

Pagi ini lihat status FB Bunda Kaska tentang TV (saya kutip di bagian bawah), lalu jadi ingat salah satu refleksi diri yang saya lakukan jauh sebelum menikah.

Jauh sebelum banyak tokoh parenting atau ahli perkembangan anak menghimbau (bahkan dengan tegas melarang sampai usia tentu) pemaparan TV pun gadget ke anak, saya udah duluan membulatkan hati tentang ini. Cukup refleksikan, kontemplasi, ke hidup sendiri, ke pengalaman pribadi. TV itu ngasi pengaruh baik atau buruk?

Saya dulu saat kecil suka 'menandai masa', tiap perasaan atau pemikiran di masa itu saya ingat dengan sadar, dijadikan pelajaran untuk kalau sudah besar nanti. Salah satunya perihal TV.

TV, sebagaimana pisau, maupun benda lain seperti peniti, bisa baik kalau sesuai cara penggunannya, dan bisa buruk kalau ga sesuai cara penggunaannya. Bisa baik kalau kontrol ada di tangan kita, dan bisa buruk kalau diri kita yang diatur sama mereka. Mungkin bisa TV jadi baik kalau digunakan sebagai pengganti layar laptop dalam melihat kajian agama atau mendengarkan murotal. Mungkin bisa TV jadi baik kalau anak sudah cukup besar (usia SD?) dan diputarkan video edukasi maupun dokumenter. Mungkin bisa TV jadi baik kalau penggunaannya, untuk apa dan berapa lama, dibatasi, juga didampingi. 

Tapi kali ini saya ingin membahas perihal penggunaan TV yang tidak seperti itu, jadi sekedar tontonan, diri kita yang mengikuti konten TV dan bukan sebaliknya, sebagaimana yang lazimnya saya ketahui, khususnya di negara kita.

Masih jelas ingatan buruknya tayangan TV khususnya sinetron-sinetron. Sayangnya ART dan Nenek saya dulu hobi banget nonton sinetron, saya mau ga mau lihat, walaupun ga selalu ngikutin juga. Dulu, belajar ngomong judes sampe bikin drama-drama antagonis bersama sepupu (dan iya saya "script writer"-nya), ide nya dari mana? Tanpa sadar ya dari TV. Isinya kalo gak orang galak ga ketolongan, orang bunuh diri, hamil duluan (naudzubillah min dzalik), dsb dsb yang nulisnya aja ga tega saking ga berbobotnya. Astaghfirullah. Dan lagi-lagi, itu dulu, 10-15 tahun yang lalu, sekarang?

Masalahnya, anak-anak belum bisa mikir panjang, asal ngikutin aja. Bagus kalo cuma diwujudkan dalam drama, kalo coba-coba di kehidupan nyata? Jangan remehin impulsivitas anak.

Saya masih inget, dulu 'ngetrend' banget adegan gantung diri di sinetron. Saya yang masih berusia sekitar 7-8 tahun, tanpa sadar penasaran. Ga ada pemikiran apa-apa. Murni lihat tali rafia(!) lalu ngelingkerin di leher dan talinya diiket-iket di pegangan tangga. Tentu ga bakal bisa kenapa-kenapa karena sayanya aja sambil duduk bersimpuh tangganya. Tapi ga berapa lama muncul Nenek saya dan beliau sampe shock ngeliat saya ngapain. Ngeliat reaksi beliau saya ikutan kaget dan ngerasa jadi orang terbodoh sedunia. 

Bukan karena saya bodoh beneran (semoga ga), tapi murni begitulah psikologi anak-anak. Mereka akan secara impulsif, tanpa mikir, mencoba aneka hal yang masuk ke indera mereka, yang menstimulus mereka. Melalui apa yang mereka lihat, dengar, rasakan. Anak-anak peniru ulung. Maka akan lebih baik kesempatan itu digunakan untuk memberikan stimulus kebaikan, pemandangan yang baik. Sehingga ga perlu berbusa mulut kita ceramah ke mereka, mereka akan dengan tanpa sadar mengikuti apa yang mereka lihat. Kalau yang biasa mereka lihat adalah orang mengaji, membaca buku, maka itu pula yang akan mereka lalukan.

Emang sih dengan dikasih TV anak jadi anteng, jadi 'mandiri' bisa tidur dan menenangkan diri sendiri, ga perlu dikelonin, ga perlu ditemenin di kamar masing-masing. Tapi apa iya itu baik? Bukannya justru merusak?

Jadi sejauh ini saya masih kekeuh dan bersyukur ga menyediakan TV di rumah, menjaga stimulasi anak, menjaga paparan anak dari hal negatif. Sampai kapan? Sampai dirasa perlu dan yakin bisa mengontrol penggunaannya, kalau ga dirasa perlu ya mungkin ga akan pasang :D

Anak kan ga bagus juga dibuat steril? Saya cuma berusaha mengkondisikan kecenderungan hatinya, moga-moga jadi ga tertarik sama hal-hal yang ga bermanfaat, moga-moga ga akan pernah terbiasa lihat-dengar maksiat. Sehingga kelak kalaupun ia bertemu tontonan yang ga berkualitas, dari dalam dirinya sendiri udah ga suka, ga tertarik. Dan setahu saya dalam islam logikanya adalah berikan lingkungan yang baik ke anak, bukannya dijejali lingkungan (termasuk stimulasi mata-pendengaran alias isi TV) yang buruk apalagi oleh orang tua sendiri.

Jadi masalah kalau anak dibesarkan dalam dunia impian (bebas paparan negatif) tapi ga disiapkan benteng diri, ga dikasih tahu apa yang boleh dan tidak. Atau lebih parah lagi, dibiarkan melihat tontonan negatif, tapi juga ga diarahkan mana yang baik dan tidak. Ga perlu dengan melihat aurat orang dulu anak tahu membuka aurat itu buruk. Ga perlu dengan melihat orang ngerokok dulu untuk tahu merokok itu membunuh diri sendiri. Ga perlu dengan melihat orang lenggak-lenggok dulu untuk menanamkan anak terhadap rasa malu.

TV kan bisa juga jadi sumber pengajaran, apalagi kalo isinya mendidik dan ga cuma sekedar hiburan? 
Well, sebenernya yang saya tekankan di tulisan ini tentang serial TV Indonesia yang saya rasa sudah jadi rahasia umum bagaimana kualitasnya, sekalian dalam rangka menuliskan hikmah yang saya pribadi alami dari pengalaman kecil. Tapi bolehlah bahas sikit tentang ini. Jawabannya, bisa ya dan bisa tidak. Seperti yang saya bilang sebelumnya, pada dasarnya TV ini netral aja bergantung gimana kita menggunakannya dan peruntukannya. Kita harus lihat  kontennya, usia anaknya, dan juga caranya apakah didampingi dan dibatasi atau tidak. Kalau digunakan untuk anak yang cukup umur (saya kepikirannya diatas lima tahun atau SD, entah secara teori) lihat video dokumenter atau sains dengan didampingi boleh jadi justru sangat baik.
Kalau untuk anak apalagi batita? Nyatanya para ahli syaraf otak dan perkembangan anak bilang TV adalah metode pembelajaran yang kurang baik terutama bagi anak tiga tahun ke bawah dimana metode pengajaran yang optimal bagi mereka adalah melalui "sensory experience" yang tentu ga bisa didapat dari sekedar duduk pasif menonton TV (Aamodt & Wang, 2012). Begitu pun dalam perkembangan bahasa, anak lebih cepat belajar bahasa dari interaksi sosial, bukan dari paparan video (Ibid).  Belum lagi potongan gambar yang cepat dalam TV bisa berdampak negatif pada perkembangan konsentrasi anak (Ibid). Banyak metode pengajaran yang lebih cocok untuk anak, kalau di buku parenting nabawiyah, bagi anak-anak itu 'permainan' yang cocok salah satu kriterianya adalah membuat anak aktif bergerak, hal itu yang mereka butuhkan pada masa kecilnya.

cuplikan dari buku "Welcome to Your Child's Brain" 
Sandra Aamodt & Sam Wang, page 142.

Dan sekarang bukan sekedar TV persoalannya, tapi juga gadget. Oh yes, jadi orang tua selalu berinovasi ya tantangan zamannya. Sekarang ini games-games, youtube, juga rasanya perlu didampingin, diberi batasan, diberi pengarahan. Jangan sampe gadget jadi pelarian orang tua dari mengasuh anak. Itu namanya keluar mulut singa (TV) masuk mulut buaya (varian gadget lainnya). Bahkan iklan youtube aja bisa merusak. Hati-hati anak yang punya hafalan quran. Ah, bahkan keburukan itu bisa menyulitkan terikatnya ilmu.

Wallahu'alam.



_cuma orang tua yang gak mau menyesal kemudian,
cuma diri yang mencoba menggali hikmah sebanyak-banyaknya, dari pengalaman sendiri pun orang lain_

referensi:
Aamodt Sandra, and Sam Wang. "Welcome to Your Child's Brain; How the Mind Grows from Birth to University". New York: Bloomsbury, 2012. 

****
(Status Bunda Kaska)

Bismillaah

~Tentang TIVI buat anak2~

Chapter 1


Maaf ya statusnya singkat aja, kalo banyak yg tanya gmn spy anak rajin shalat, rajin ngaji, seneng baca buku, mau bermain akrab sesama saudara (alias berantem trus baikan, ga ada dicariin, deket ribut, jauh kangen :p), salah satu HAL BESAR nya adalah :

♡Jangan ada tivi di rumah
♡Gadget dibatasi (kalo bisa ngga ya lebih bagus)

Jujur aja, saya mmg bukan pakar pendidikan, bukan yg suka kasi seminar2 parenting, mereka udah lebih dulu ngelarang, ni saya hanya emak2 biasa yg khawatir liat anak2 korban dari kecanduan tivi.

Masyaallah memang isinya tivi itu SAMPAH, mau beritanya kek (yg isinya gtau bener gtau bohong, kriminal yg kdg dibuat2), mau sinetronnya kek (parah tingkat tinggi), bahkan maaaffffff bgt, ceramah2 agamanya juga sebagian besar kan bukan dr ulama sunnah.
Kalo anak jd konsumtif mau ini itu kaya iklan, parahnya baju2nya seksi (kasian anak yg punya hafalan quran gampang ilang), khalwatnya, nyentuh bukan mahramnya, adegan2 mendekati zinahnya, mata anak2 kita jadi biasa liat aurat, liat zinah, hilang rasa malu, dll banyak bgt. itu iklan aneh2 sengaja semua dipasang pas acara anak2.

Kalo anak akhlaknya aneh2, ganjen, puber, jahat ngebully temen, ga denger pas azan, ga denger pas dipanggil shalat, ga minat thd buku apapun, itu udah DARURAT.

Anak udah SAKIT jiwanya. Maaf. Jujur aja. Ruh yg tadinya bersih itu udah teracuni. Dan kitalah yg kelak msti mempertanggungjawabkan di hadapan Pemiliknya.

Kalo anak sakit jasadnya, kita sediiiihhhh bgt, smpe segala cara dilakukan, yg kata dokter ga boleh kita jaga betul, ga boleh ini itu nurut. Bahkan makanan kesukaan dia yg ga boleh akan kita jauhkan. Demi kesehatan jasmani anak.

Nah ini anak sakit jiwanya, ruhnya, gmn?
Ya usaha juga. Perbanyak bacain quran, kalo dianya udah bisa ngaji, tilawahnya disuruh banyakin, jauhkan dari tivi, puasain anak dari hal2 buruk.

Memang tivi itu kaya nolong, anak anteng kalo dpn tivi, jd kita ga repot ngasuh. Tapi kita lagi nyuntikkin racun2 ke anak sendiri.

Sebenernya ini status sedih, cuma bisa selemah2 iman aja,
Semoga banyak org tua yg ngeh dgn bahaya tivi ini.

Alhamdulillaah di rmh udah 8th tanpa tivi.
Anak2 kdg nonton 1-2mgg sekali di rmh nenenya, itupun dibatasi hanya kartun yg aman. Tetep tau boboboi, upin ipin, masha, dll. Tapi ga mesti KHATAM ampe hafal bgt kaaann? Ada saat2 kecolongan nonton naruto dll. Sebel bgt. Sampe rumah mrk tanpa sadar dsuruh ngaji lebih banyak dr biasanya.

Jangan terlalu dengerin komentar :

"KASIAN anak2 ga nonton tivi"
Kasian apanya?
Akhlak rusak mau apa.
Yg ngadep Allah kan kita.

Hal2 baik bisa didapat manual lah, ga usah pake canggih2 atau elektronik. Banyak ko penelitian yg mmg bertanggungjawab bilang anak tanpa tivi itu lebih 'sehat'.

*maaf jadi aga panjang. Sama saya juga mst banyak belajar, masi lalai urus amanah2, mg2 sama2 ya, Allah beri kemudahan.

Barakallaahu fiikum

Bunda Kaska

Catatan tambahan tgl 29 juli 2016:

Sadar ga bun?

Yang dulunya hal tabu dan aib sekarang menjadi biasa dan trend.

Aurat.
Zina-sex bebas.
Homo lesbian.
Musik dgn lirik ga jauh2 dari zina.
Rokok.
Drugs.
Tato.
Dll.

Pertama liat dimana?
Di tivi.
Pelan pelan bertaun taun jadi ikutan tanpa sadar.

Mulai masuk film2 bule anak muda dengan gaya pacaran yg asik.
Musik2 yg melalaikan.
Acara2 musik yg makin digemari anak muda.
Rokok dan miras yg makin mudah didapat.

Liat gaya pacaran anak kecil zaman sekarang, udah ga ada beda sama film2 bule yg belasan taun atau puluhan taun yg lalu kita tonton dengan rasa malu.

Dan umat islam pun ikut latah dengan gaya hidup westernisasi.
Saat ada yg amalkan sunnah dianggap arabisasi bahkan oleh umat islamnya sendiri yg tanpa sadar telah terjajah westernisasi.

Jika tak ada rasa malu, perbuatlah sesukamu.

Masih belum sadar racunnya?

Kenapa repot2 mau share hal kaya gini kl bukan krn ingin kebaikan buat sesama.

Comments

Popular posts from this blog

Persiapan IELTS Tanpa Preparation Class

Jalan-jalan Turki day 1: Ephesus!

Jalan-jalan Turki day 2: Pamukkale!