Kenapa? Tentang Pilkada DKI

Kenapa kok tiba-tiba saya ikut ngomongin pilkada di social media (facebook)?

Emang ga takut dibilang ikut-ikutan? 
Ga khawatir salah-salah ngomong rawan ribut sama orang? 
Ga takut dibilang lebay atau ga elegan(?)?

Enggak.

Kenapa?

Alasannya sederhana saja,

Saya hanya ingin bisa menjawab kalau kelak Ia bertanya tentang apa yang sudah saya lakukan. 

Saya hanya ingin bisa mengatakan, "I already did my best, ya Rabb." or at least, "I already did something, ya Rabb."

Segitu aja. Sesederhana itu.

Semoga ada nilainya, semoga ada manfaatnya.

***
Status FB, 9 Febuari 2017.


Mungkin karena menyentuh apa yang saya resahkan selama ini, jadi ngerasa klik sama paparan Pak Anies.

Ketimpangan sosial, keadilan sosial, pembangunan manusia.
Iya, hal-hal itu.


Kalo ke mall di pusat Jakarta, sebutlah Grand Indonesia, hati ini ga bisa bohong, ada rasa sesak yang sulit didefinisi yg mengatakan ada yg ga beres disini. Tengok kanan, gedung mewah-megah-pongah, tapi ga ada sepuluh langkah, masyakat susah berselimut debu berjejal berjualan, belum lagi rumah-rumah mungil padat yang mungkin tinggal menunggu waktu kapan berubah menjadi gedung tinggi lainnya.



Jujur, rasa itu, yang sedikit banyak membuat saya berat hati berlama-lama di Jakarta (dan akhirnya sering melipir ke Bandung atau Cibubur). Ditambah bingung bisa apa, harus apa, yang suka bikin galau sendiri. Jadi begitu Pak Anies menyuarakan valuenya, saya langsung ngerasa terdengarkan, menumbuhkan harapan.

Saya dukung pak gagasannya, saya dukung programnya. Semoga Allah berkahi Jakarta dengan pemimpin yang mencinta-Nya, dan Ia cintai.

****
Status FB, 24 Januari 2017.

Karena keselamatan di dunia pun ditawarkan oleh Fir'aun, juga Namrud. Dan seorang pemimpin tidak seharusnya hanya memikirkan aspek dunia rakyatnya, karena nyatanya aspek materi barulah tingkatan terendah dari kebahagiaan manusia (kesejahteraan, kesehatan, dan takwa). Ada nilai-nilai tak teraba indera, berkaitan dengan ketundukan pada Tuhan yang juga harus dipikirkan..

I can really relate to this post (tulisan mba nurisma fira). Kenapa bertahun-tahun tinggal di negeri utara, doa teratas adalah ingin anak jadi sholeh/ah? Ingin diri ini dijaga dalam nikmat iman? Karena tahu, silaunya dunia ini rapuh saja. Ada hal lain yang lebih berharga dari itu, dan tak ternilai materi; keimanan (percaya dan yakin akan keberadaan Allah) dan ketakwaan (rasa takut dan tunduk pada Allah).

"..kenapa bagi orang-orang seperti saya yang kebutuhan otak-perut-dompet sudah dipenuhi oleh pemerintah Inggris, kok ya masih saja berpartisipasi di berbagai kegiatan pengajian yang targetnya adalah kata-kata klasik meningkatkan iman, takwa, membangun akhlakul karimah, dan doa yang menempati urutan teratas adalah supaya anak-anak jadi anak sholih/sholihah."

"Bagi orang-orang tertentu, menjadi orang beriman, bertakwa, berakhlakul karimah, sholih dan sholihah, ini adalah cita-cita utopis. Tidak bisa dicapai. Dikatakan tidak ada indikatornya.

Padahal kalau menurut saya pribadi indikatornya ya sudah jelas. Halal haram. Halal ada wajib, sunnah, makruh, mubah. Haram ya haram. Jadi indikatornya ya keterikatan dengan aturan Islam. Tapi ini susah dipahami kalau memahami rukun iman saja dipandang sebagai meyakini ideologi tertutup, dan menyampaikan eksistensi akhirat-surga-neraka dianggap self fulfilling prophecy alias peramal masa depan yang fasih meramalkan kehidupan setelah dunia fana, yang notabene mereka sendiri belum pernah melihatnya."

semoga Ia menuntun setiap pilihan kita, memampukan kita mendahulukan taat daripada memperturutkan ego dan nafsu, sehingga hanya berujung pada ridha-Nya..

Our Prophet (salla Allahu alayhi wa sallam) said, "There is no sin in being rich, as long as one has God-consciousness (taqwa). But good health is a greater blessing than being rich for the one of God-consciousness" [Reported by Ibn Mājah].



Comments

Popular posts from this blog

Persiapan IELTS Tanpa Preparation Class

Jalan-jalan Turki day 1: Ephesus!

Cerita Kehamilan di Indonesia dan Swedia