Serpihan Hikmah di Kampus

Scene 1
"Kamu asalnya darimana?" Teman sebelah saya, wanita asal Swedia bertanya.
"Indonesia.."
"Oh, saya tahun lalu pertukaran pelajar (exchange) ke negara tetangga kamu, Singapura. Saya juga berkunjung ke beberapa kota di Indonesia saat libur. " Saya nyengir lebar seolah bertemu sahabat lama. Di rantau begini, denger ada yang tahu Indonesia aja udah bikin saya seneng, apalagi ketemu yang punya hubungan lebih dalam lagi dengan negara kita.
Ia pun mengenalkan saya dengan satu lagi teman asal Swedia yang juga exchange disana, pria muda.
"Mmm.. Kalo boleh tahu itu gimana ya asap kok bisa separah itu? Waktu kami disana lagi parah-parahnya, dan itu berbulan-bulan."
Nyengir lebar saya meredup seketika. Bayangan mengobrol ringan tentang keindahan Indonesia pupus dan berganti dengan sedikit rasa sesak yang susah didefinisikan.
Kami bertiga pun mulai berdiskusi dan saya merasa wawasan mereka luar biasa luasnya, saya malu sendiri, ngerasa ga sedalam mereka dalam membaca; baik membaca secara literal maupun 'membaca sekitar'. Bahasan saya kurang lebihnya tipikal, menyalahkan pebisnis sawit yang membakar hutan dan pemerintah. Bener toh? Siapa lagi pemilik tanggung jawab terbesar dalam kasus ini?
"Saya rasa kita ga bisa menyalahkan atau melepaskan ke pemerintah begitu saja. Saya sendiri udah berlepas tangan sama semua produk yang ada sawitnya." Kata si teman laki-laki.
Lalu teman yang wanita bilang,
"Hei, bukankah kamu pake produk X? Dia mengandung minyak sawit lho dalam komposisinya. Coba kita cek.."
Saya melongo.. Saya bahkan ga tahu produk apa aja yang mengandung turunan sawit..
Ada kesadaran baru dari perbincangan singkat itu..

Scene 2
Dalam salah satu mata kuliah tentang perilaku organisasi (organizational behaviour), seorang dosen menyuruh kita berdiskusi dengan teman di sebelah tentang cita-cita kita dalam hidup, tentang keinginan kita mau jadi apa di masa depan.
Saya memulai diskusi, "(menjelaskan aneka harapan).. Saya juga tertarik sama dunia bisnis sebenernya, pengen sih suatu saat bisa bisnis. Walopun sekarang belum tahu gimana cara menuju kesananya, baru pengen doang."
Lalu gantian teman saya menjelaskan mimpinya, yang sangat jelas dan lengkap dengan step-step konkrit mewujudkannya.
"Saya kurang lebih mirip kayak kamu. Saya ga pengen menghabiskan waktu selamanya kerja di perusahaan besar, saya lebih merasa saya butuh kerja diawal karir sebagai batu loncatan, sebagai pengalaman untuk memulai bisnis sendiri. Saya orangnya spontan, dan saya mau terus seperti itu." Lalu ia menjelaskan aneka pengalamannya termasuk juga tentang dia ikut volunteer di tenda pengungsian imigran (refugee camp) di Yunani. Ia pun melanjutkan,
"Kamu tahu gak, di Chalmers ada klub enterpreneur gitu loh, kamu bisa ikutan, disana kamu bisa ketemu orang-orang hebat yang bikin aneka start-up. Mereka suka bikin event gitu, kayak model seminar."
Saya kehabisan kata menanggapinya. Inilah yang namanya; konkrit.

Scene 3
Sehari setelah pemilihan presiden Amerika, dikelas pagi. Teman saya ini sibuk sekali di kelas dengan laptopnya, walau begitu tak menghalangi dia untuk terus aktif menjawab aneka pertanyaan diskusi di kelas.
"Saya multitasking banyak hal pagi ini; kerjaan sehubungan dengan hasil pemilu Amerika. Saya shock dengan hasilnya. Ga habis pikir."
"Oh.. Iya, saya juga kaget banget. Gimana menurutmu?"
"Selama ini saya berencana terjun di dunia industri, saya ngerasa itu hal tercepat untuk ngelakuin sesuatu untuk dunia. Saya suka semua yang cepat dan efisien. Tapi ngeliat hasil US election, saya jadi berpikir untuk terjun di dunia politik aja. Dunia politik perlu sosok yang kredibel dan bisa membawa kedamaian.. Tapi... " Ia menghentikan kalimat, seperti mencoba merangkai kata-kata yang tepat, saya pun mencoba membantu..
"Tapi, pasti tough banget ya disana?"
"Bukan, kalo urusan itu saya rasa saya mampu, ga masalah buat saya. Saya cuma benci sama lambannya institusi dan pemerintahan. Saya suka sesuatu yang cepat. Saya pengen udah ngeliat perubahan selama saya masih hidup."
Saat itu saya antara mau shock, standing applause, dan juga gelagapan merangkai kata-kata bahasa inggris sebagai tanggapan..

***
Tiga percakapan diatas adalah secuplik pengalaman yang berkesan bagi saya. Mozaik perbincangan yang mengantarkan pada kesadaran baru.

Ada yang bisa melihat benang merah dari ketiganya?

Ketulusan. Anti malas. Aksi nyata.

Ketulusan yang mengalahkan kelembaman lah yang membawa teman saya di Scene 2 volunteer ke refugee camp di Yunani, dan teman saya di scene 3 mempertimbangkan untuk mengubah haluan hidup ke bidang politik. Disaat sering kali saya dengar, "Saya ga ada waktu mikirin politik. Saya tahu politik, terlebih di negeri kita, itu amburadul. Saya mending nesis aja, atau ngelab aja. Politik cuma permainan orang-orang yang haus kekuasaan, dsb". Sedang teman saya ini berpikir bahwa justru itu, justru karena masih banyak yang perlu diperbaiki, itulah celah yang bisa kita isi. Justru biar posisi strategis dan sentral itu ga diisi orang-orang bermental meraup keuntungan pribadi semata. Saya juga ga melihat kepercayaandirinya itu sebagai kesombongan, ia cuma mengenali dirinya dengan baik, yang tentu termasuk kelebihan-kelebihannya.

Dari Scene 1, yang saya rasakan adalah bahwa bukan hanya mereka lebih dalam wawasannya, lebih banyak membaca, tapi juga lebih konkrit. Tentu urusan asap ini hal besar, dan jujur saya, atau mungkin banyak juga dari kita yang terperangkap dalam paradigma 'maka butuh solusi besar juga untuk mengatasinya, dan saya ga kuasa atas itu maka saya ga ikut campur, ga ada ruang bagi saya untuk turut serta mengurai benang kusut.' Mungkin benar, perbuatan kita boleh jadi ga signifikan mengurai akar masalah, tapi melihat sikap teman-teman saya itu saya jadi tersadar. Bahwa ini adalah tentang pernyataan sikap, tentang menyelaraskan rasa dengan perbuatan.

Mereka ga peduli dengan kemungkinan nyinyiran orang seperti, "Emang ngaruh gitu apa yang kamu lakuin?" atau "Sudahlah, ga akan menyelesaikan masalah apa yang kamu lakukan." Mereka hanya segera berpikir hal apa yang bisa dilakukan, mulai dari yang setrivial menyeleksi produk yang digunakan sampai mendesain life plan sesuai kebutuhan dunia. Ibarat semut yang membawa air untuk memadamkan api yang membakar Nabi Ibrahim AS, boleh jadi yang mereka lakukan tidak berdampak, tapi itulah keselarasan hati dan perbuatan, menegaskan dimana mereka berada.

Maka rasanya saya malu kalo mendengar aneka kesusahan atau problem dunia dan bergumam, 'itu terlalu jauh untuk saya jangkau, jadi saya ga bisa ngapa-ngapain.' Mungkin saya perlu bertanya lebih dalam ke hati, berpikir lebih menyeluruh, apakah memang ga ada yang bisa saya lakuin sekecil apapun itu, sesekedar menyumbang atau mengubah sedikit gaya hidup? Lebih jauh, apakah sudah sesuai misi hidup ini untuk mengurai, setidaknya berharap turut mengurai, problematika umat?

Karena, lagi-lagi, ini tentang keselarasan hati dan sikap. Dan sesungguhnya Ia menilai kita dari proses yang kita lakukan, bukan hasil akhirnya..

"Ya Rahman, terima kasih.. Sungguh, begitu indah cara-Mu mendidik diri ini.."




Göteborg, 20 November 2016
21.52.

Comments

  1. Subhanallah....teruslah menulis bunda :) keren :)

    ReplyDelete
  2. Assalamualaikum Teh..

    Aku suka baca tulisannya Teteh, tapi silent rider saja sih. Hehe. Nemu tautan di fb pasti di-klik. Peristiwa sesederhana apapun itu,ada saja insight yang Teh Iie dapatkan. Menanti tulisanmu Teh. Hehe. Nulis terus yaa.

    Salam buat Asiyah ya Teh, dari Makassar. ��

    Hikmah

    ReplyDelete
    Replies
    1. waalaykumsalam wr wb,

      wah senang tulisannya ada yang baca :D semoga ada manfaat yg bisa diambil. saling mendoakan ya kita.. salam balik mba :)

      Delete
  3. menyadarkanku juga teh... trimakasih tulisannya...

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Persiapan IELTS Tanpa Preparation Class

Jalan-jalan Turki day 1: Ephesus!

Cerita Kehamilan di Indonesia dan Swedia