The Other Stories; Apa yang Berbeda dari Melahirkan di Swedia?

Sebagai negara dengan tingkat kematian ibu dan bayi yang rendah (masuk sepuluh besar dunia) tidak diragukan lagi kualitas pelayanan kesehatan disini. Mulai dari pelayanan yang terstandardisasi dan ga neko-neko, tenaga kesehatan yang ahli dan komunikatif, sampai ga adanya diskriminasi terhadap siapa pun (sedikit pengalaman saya ceritakan disini; Your Day-Asiyah Rania).

Sekilas kedengeran enak banget ya hamil dan melahirkan di Swedia. Memang banyak yang bisa kita pelajari, tapi ada juga untold stories yang berbeda dari kultur kebanyakan di negara kita yang boleh jadi bikin 'kaget' kalo ga tahu sebelumnya.  Berikut ini beberapa poin berdasarkan pengalaman saya saat hamil, melahirkan, dan perawatan pasca melahirkan selama enam hari di RS Mölndal, Göteborg=

disclaimer: tulisan ini berdasarkan pengalaman pribadi, berbeda kota boleh jadi berbeda aturan.

#1 Pemikiran terhadap Kehamilan dan Kelahiran
Setengah perjalanan kehamilan saya lalui di Indonesia dan setengah lagi di Swedia (catatan tentang pengalaman kehamilan di dunia negara ini pernah saya tuliskan disini; Cerita Kehamilan di Indonesia dan Swedia). Satu hal yang terasa sekali bedanya adalah sikap bidan terhadap kehamilan yang nyantai banget. Seperti yang beberapa kali saya bilang di tulisan sebelumnya, perawatan kehamilan disini 'sederhana' banget. Mulai dari USG yang cuma sekali, dua bulan pertama ga diapa-apain, ga diresepin aneka vitamin hamil (apalagi susu hamil), dan sebagainya. 

Selama sesi kontrol kehamilan juga seringnya lebih banyak ngobrolnya ketimbang periksanya. Di salah satu kesempatan saya memberanikan diri bertanya, "Kok pelayanan kehamilan disini sederhana sekali? Kok Bu Bidan nyantai aja sih? Ga pernah saya denger Ibu ga ngomong kata-kata yang positif dan membangun, seakan emang ga ada yang perlu dikhawatirin." Kurang lebih jawaban Bidannya, "Kehamilan itu bukan penyakit, jadi ga perlu diperlakukan dengan penuh pikiran negatif. Risiko pasti ada tapi selama dari pemeriksaan (yang seperlunya) semua baik, dan ga ada indikasi apa-apa ya kenapa harus khawatir. Kami sudah lama menjalani sistem begini dan sejauh ini kami puas dengan hasilnya." Beliau sudah seperti sahabat saya tempat curhat dan mendapatkan dukungan menghadapi persalinan. 

Sebelum melahirkan ada Hospital Visit untuk para calon orang tua dimana kita dijelaskan aneka rupa tentang teknis hari persalinan nanti. Saya masih ingat sekali saat itu bidannya bilang, "Menjelang melahirkan nanti, kontraksi memang akan terasa sakit, saya ga akan menjanjikan bilang bahwa itu ga sakit. Tapi, yakinlah, itu adalah sakit yang baik, sakit yang positif, sakit yang menandakan bahwa sebentar lagi anakmu akan hadir dipelukanmu." Pemikiran dan sikap mereka membantu saya untuk lebih tenang menjalani kehamilan.

#2 Semua Serba Terstandardisasi
Betapa indahnya kalau tenaga kesehatan dengan pemikiran yang sepositif dan semenguatkan itu ada dimana-mana, jadi standar tersendiri, bukanlah bagai mencari berlian di tumpukan jerami?

Urusan standar emang Swedia ini juara banget. Saya kagum gimana bisa sistem bekerja untuk kita, dan bukan menitikberatkan pada kehebatan individu. Saya tahu banyak dokter di Indonesia yang orang-orang rela antri berjam-jam demi sama beliau, disini hal itu ga terjadi, karena kualitasnya (ilmu dan sikap) pukul rata di tiap tenaga kesehatan. Mereka ga bergantung sama kepahlawanan individu, tapi dari sistem yang computerized dan keahlian yang sama rata. Saya ga perlu khawatir walaupun bidan yang menangani persalinan nanti bisa berbeda-beda sesuai shift kerjanya.

#3 Work Life Balance
Nilai ini terlihat jelas dalam keseharian warga sini, sekalipun yang bergerak di ranah kesehatan seperti bidan. Disini ujung tombak utama proses kelahiran adalah bidan, kita bisa ga ketemu dokter sama sekali selama prosesnya ga ada masalah. Dan ga ada ceritanya mereka kerja lewat jam kerja sampai belasan atau bahkan puluhan jam di RS. Bidan punya shift tertentu (seingat saya sehari dibagi tiga shift), dan kalo ternyata ditengah persalinan shift dia habis kita harus siap dipegang sama bidan lain, ga bisa request maunya sama bidan yang mana. Tapi kembali ke poin dua, kita ga perlu khawatir karena most likely bidan siapa pun yang megang kita prinsipnya sama, keahlian dan baiknya sama.

Saya sendiri pas di penghujung kelahiran, setelah IMD dan proses jahit-menjahit usai, shift bidannya habis, maka proses menimbang dan mengajari ganti popok dan seterusnya itu berganti bidan lain. Setiap pagi dan sore (saya agak lupa atau tiga kali ya) ada dua bidan yang datang ke kamar untuk perkenalan dan ngasi tahu sekarang shiftnya mereka untuk menjaga.

#4 Perawatan Ramah Ibu dan Anak
Disini selama kondisi anak sehat, dari detik pertama anak dan orang tua ga akan dipisah sama sekali (kalau ibu perlu perawatan ekstra anak akan diserahkan ke dekapan ayah). Proses timbang berat, tinggi, dan sebagainya dilakukan di depan orang tua. Pengalaman saya dulu alatnya lah yang dibawa ke kamar dan anak diukur depan mata saya. Kalau pun ada tindakan yang mengharuskan anak dibawa, semisal diambil darahnya maka salah satu orang tua diminta menemani. Proses ini membuat ga ada ceritanya ada bayi tertukar karena sejak detik pertama orang tua selalu mengawasi anak. 

Karena bayi ga pernah dipisah dari orang tua khususnya ibu, maka disini ga ada kamar bayi. Tiap bayi otomatis sekamar sama ibunya, disediakan box bayi portable yang ada rodanya dan aneka perlengkapan seperti selimut, perlak, popok, dan baju. Di hari-hari awal, khususnya di jam-jam awal kehidupan anak, para bidan mendorong tiap bayi untuk mendapat dekapan langsung ibunya. "Inilah yang paling dibutuhkan mereka, ga perlu dipisah, untuk apa? Memandikan dan sebagainya itu bisa nanti-nanti, mereka lagi beradaptasi sama dunia, mereka butuh kamu, ibunya." jelas salah satu bidan saat saya bertanya.

#5 Your Baby is Your Responsibility
Berbeda dengan penanganan di Indonesia dimana segala sesuatu mulai dari ganti popok, memandikan bayi, dan sebagainya bisa dibantu oleh perawat, disini semua serba sendiri dan mandiri. Perawat hanya mengajarkan caranya dengan mencontohkan pertama kali selebihnya kita sendiri yang harus melakukan. Sekitar satu atau dua jam setelah anak lahir, seorang bidan menghampiri kami untuk memijat perut (memastikan rahim sudah bersih), dan mengajarkan cara mengganti popok bayi. Artinya apa? From now on, your baby is your responsibility, including diaper changing, everything! All the duties is yours :)

Mendengar kisah beberapa teman yang bilang bahwa hari-hari awal di RS mereka bagaikan tuan putri yang ga boleh ini itu, segala sesuatu dilayani, urusan bayi hanya menyusui aja selebihnya dibantu, maka hal itu ga ada ceritanya disini. Bayimu adalah tanggung jawabmu, from the first day, from the first second. Tak heran ibu-ibu disini tegar dan kuat sekali, habis melahirkan jalannya udah macho banget berbeda dengan saya yang masih bak puteri solo.

Jujur hal ini agak membuat saya terkejut, dipikiran saya ibu baru melahirkan akan dilayani apa-apanya, tapi ini kok langsung harus menjalani kerasnya dunia. Apalagi saya harus menginap cukup lama di RS karena kuningnya Asiyah, saya kerap merasa bosan luar biasa dan benar-benar kangen rumah. Ga heran ibu-ibu disini banyak yang sudah pulang di hari pertama atau malah selang beberapa jam dari melahirkan. Selama kondisi ibu dan bayi sehat mereka boleh pulang hari itu juga dari RS.

#6 Ambil Makan Sendiri di Pantry
Masih dalam rangka self service dan kemandirian, disini ga ada ceritanya pasien dilayani seperti nyonya, sampai urusan makan pun kita yang ambil sendiri ke pantry. Ada pantry besar beserta meja kursi dan TV alias area makan. Di kamar masing-masing sudah ditempel jadwal makan dan snack, tentunya kita bisa request kriteria tertentu seperti vegetarian atau alergi (karena ga ada opsi halal, saya memilih vegetarian food)


Makanannya disajikan secara prasmanan, kalau pagi sudah default menunya adalah aneka roti, keju, paprika, timun, sereal, yoghurt, dan susu. Karena saya memesan menu vegetarian menunya juga berasa default kentang rebus, jamur, brokoli, dengan saus krim kental.




pantry; tempat ambil makan secara prasmanan


ruang makan menyatu dengan pantry

#7 Hanya Satu Orang yang Boleh Menemani

Selain itu demi menjaga privacy dan ketenganan, ibu hanya boleh ditemani satu orang, akibatnya suami dan mama harus bergantian menemani di RS. Mereka sangat tegas dalam hal ini, bahkan pergantian shift jaga suami dan mama pun ga boleh selisipan, artinya suami harus benar-benar keluar bangsal dulu baru mama boleh masuk. 

Urusan dikunjungi? Tidak boleh masuk ke dalam bangsal, semua pelawat harus menunggu di luar, ada area khusus untuk tamu. Area khusus yang saya maksud ini bukan ruangan khusus, melainkan 'hanya' meja dan kursi di depan lift yang berhadapan langsung dengan pintu bangsal ibu baru melahirkan. Jadi ga ada ceritanya tamu bisa masuk ke kamar pasien, ibu lah yang keluar beserta bayinya yang biasanya diletakan di box bayi yang ada rodanya (fasilitas dari RS).


mama jaga siang, suami nemenin malam

#8 Tipe Kamar

Selain itu yang paling mengagetkan bagi saya adalah urusan kamar ternyata ada dua tipe; standar dan family room (saya namain sendiri berdasarkan pengamatan dan pengalaman aja di RS terkait). Di kamar standar isinya dua orang ibu dan yang nemenin ga boleh nginep, artinya malam-malam yang nemenin harus pulang, artinya lagi ibu 'berdua' aja sama bayi. Di family room ada dua kasur, yang nemenin boleh ikut nginep. Katanya bisa booking dari jauh-jauh hari kalo mau di family room, dan juga didahulukan buat kasus tertentu.

Karena kami ga tahu menahu, awalnya kami ditempatkan di kamar biasa, tapi karena ngintip kamar sebelah kosong kami minta pindah dan dikasih. Setelah tiga malam di family room yang mana suami boleh ikut nginep, di hari keempat kami disuruh pindah lagi ke kamar sharing semula karena family roomnya mau dipake. 


Saat itu saya baru tahu tentang info ini, saya jadi shock, karena selain masih penyesuaian diri sebagai ibu baru, kurang tidur, masih merasa asing sama RS dan isinya (bule semua gitu), masih juga butuh dukungan untuk menyusui dan mengurus bayi, ditambah lagi harus sendirian menghadapi malam. Akhirnya mau ga mau saya terpaksa melewati malam tanpa didampingi keluarga. Mungkin melihat saya yang memelas, di hari selanjutnya suami dipersilakan menginap.


sesaat sebelum pulang,


westafel dalam kamar
toilet dan kamar mandi di luar sharing untuk dua orang.


#9 Laundry

Saat mau pulang seprei dan selimut diletakan sendiri di ruang laundry. Ga peduli kita anak menteri, anak direktur, atau pelajar semua sama, urus sendiri perlengkapan masing-masing. Serba mandiri ya :D

Kesimpulannya
Kalau bisa ditarik benang merah perbedaannya adalah nilai yang dijunjung tinggi disini adalah kemandirian dan privacy. Saya ga mau menilai ini positif atau negatif karena masing-masing opsi ada kelebihan dan kekurangannya yang disesuaikan dengan kultur sekitar. Hanya saja semoga ini bisa jadi informasi terutama bagi yang akan melahirkan disini, maupun sebagai bahan pembelajaran secara umum.


wajah bahagia akhirnya pulang dari RS 

Comments

Popular posts from this blog

Persiapan IELTS Tanpa Preparation Class

Jalan-jalan Turki day 1: Ephesus!

Cerita Kehamilan di Indonesia dan Swedia