Perjuangan Cinta Selanjutnya; Menyusui

“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Masa mengandung sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan,..." (QS. Al-Ahqaf: 15)

Sedari dulu, semenjak membaca surat cinta-Nya, bahkan jauh sebelum saya tahu siapa calon suami saya, telah tertanam tekad kuat dalam diri ini untuk kelak akan menyusui anak saya sampai sempurna. Tidak ada debat, tidak ada galau, jelas sudah bahwa menyusui bukanlah suatu pilihan bagi saya. Ini soal bisa atau harus bisa.

Dan sekarang, tak terasa saya sudah di penghujung waktu menyusui anak saya; Asiyah Rania. Menyusui adalah momen indah, romantis, sekaligus penuh perjuangan bagi kami. Dua tahun yang berharga, yang saya ingin abadikan dalam tulisan sebagai kenangan dan pembelajaran.


My little fighter..


Perjuangan Awal Menyusui
Di awal kisah, saya merasa kesulitan dan nyaris putus asa. Karena minimnya ilmu dan meremehkan persiapan, saya kelimpungan bagaimana cara menyusui anak. Saya kira menyusui itu hal alamiah yang tak perlu persiapan, ternyata saya salah.

Di hari-hari awal setelah melahirkan ASI saya belum keluar, well, mungkin sudah tapi sedikit sekali. Asiyah menangis kehausan sejak hari kedua, dan ia pun mulai kuning, bilirubinnya tinggi sampai puncaknya 315/350 (skala bilirubin di Swedia sedikit berbeda, pakai tiga digit dan bukan dua digit seperti di Indonesia, di kasus Asiyah kalau sudah menyentuh 350 harus di sinar). Persoalan kuning pada bayi ini sebenarnya hal yang umum terjadi, lebih dari 50% bayi mengalami hal ini, tapi sebagai orang tua baru kami pun panik. 

Saya didorong untuk terus memberi ASI ke bayi dan kontak skin to skin sebanyak-banyaknya. Maksimal 3 jam sekali bayi harus dibangunkan dan disusui. Dan Asiyah di observasi setiap hari, tiap pagi ada bidan anak yang datang untuk melihat kondisinya, menimbang dan mengambil darahnya. 

Rasanya sedih sekali melihat bayi kecil saya harus ditusuk jarum tiap hari, sampai tangannya biru-biru. Tangan kiri sudah sulit diambil darah, pindah ke tangan sebelahnya, begitu bolak balik saking seringnya diambil darah. Kadang saya ga kuat mendampinginya, saya minta suami saja yang menemani, hati saya hancur mendengar tangisannya. Dan ya, ia menangis sepenuh hati sekuat tenaga bagai meminta pertolongan.

Pelayanan Bayi Kuning di Swedia 
Beruntung disini penanganannya benar-benar ramah ibu dan bayi, kami tidak dipisahkan sama sekali sedetik pun sejak ia keluar dari rahim. Membersihkan bayi, menimbang, mengukur tinggi, bahkan mengambil darah pun semua dilakukan di depan kami. Antara alatnya yang dibawa ke kamar atau salah satu orang tua diajak untuk mendampingi. 


Timbangan dibawa ke ruang ibu, dilakukan dihadapan ibu

Begitu pun dengan prosedur penanganan bayi kuning, walaupun kadar bilirubinnya cukup tinggi, selama masih dibawah batas disinar, kami benar-benar tidak akan di sinar. Walaupun saya sudah sehat tapi demi anak dapat di observasi dan menyusui langsung saya pun lanjut menginap di RS. Ini penanganan terbaik menurut mereka. Asiyah baru boleh pulang setelah kadar bilirubinnya menurun atau beratnya stabil meningkat (pada hari ke enam).


Balik Lagi tentang Menyusui
Sejak hari pertama para bidan selalu mengajarkan saya bagaimana menyusui, tapi entahlah, sepertinya saya tidak bisa-bisa. Bayi sulit sekali melekat (latch on) yang benar, dan saya juga tidak merasakan tanda-tanda ASI penuh. Bidan mengajarkan cara memerah ASI pakai tangan sejak hari kedua, yang keluar sedikit sekali, bahkan kadang hanya membasahi alas botol.

Pada dini hari ketiga, berselang 72 jam dari waktu kelahirannya, kami sudah tidak kuat melihatnya mengamuk kehausan, sejak hari kedua kami sudah tidak bisa tidur karena ia terus gelisah. Akhirnya kami meminta bidan untuk memberi susu formula (sufor). Lalu saat itu diberikanlah sufor sebanyak 30ml, ia langsung tidur tenang 4 jam lamanya, bahkan bisa lebih kalau tidak dipaksa bangun oleh bidan, itu pertama kalinya kami dapat tidur lebih dari satu jam. 

Sejak hari itu ia kalau minum tahapannya menyusu langsung, diberikan ASI Perahan (ASIP; yang tak seberapa), lalu sufor sampai ia puas. Saya tidak rela terus menerus seperti itu, bagi saya itu hanya sementara sambil saya mengejar kuantitas ASI. Maka perlahan-lahan jumlah sufor harus dikurangi dan pemberiannya tidak pakai dot agar menghindari risiko bingung puting (kami menggunakan soft cup feeder, atau bisa juga pakai cangkir/sendok).

Di hari keempat seorang bidan meminta saya memompa ASI pakai alat milik RS, yang tentunya kualitas RS, tapi tetap saja hanya sedikit sekali yang keluar, hanya berkisar 5-20ml.

Di hari kelima barulah saya merasa pabrik ASI penuh dan ASI merembes membasahi baju. Tapi lagi-lagi, saya tetap merasa tidak percaya diri, saya ga teryakinkan kalo ASI saya cukup. Hampir setiap hari juga Asiyah ditimbang dan di cek darah mengukur bilirubin.

Di titik ini saya sudah merasakan kebosanan akut akan suasana RS. Akhirnya melihat saya sering meminta pulang, di hari ke-enam kami boleh pulang, dengan catatan dua hari lagi harus ke RS lagi untuk pemeriksaan lanjutan.

Little baby

Hari-hari di Rumah
Dua hari menjelang pemeriksaan terasa bagai dua tahun. Tiap sebentar Asiyah saya susui, tak lupa saya juga memompa ASI sebagai tambahan asupan dan juga menambah stimulus. Sejak di rumah ini Asiyah full menyusu langsung, tanpa tambahan sufor lagi. Rasanya dipikiran saya saat itu hanya berputar tentang ASI, bagaimana biar dia bisa puas dan tercukupi nutrisinya. Sayangnya, semakin dipikirkan saya semakin stres, saya jadi mudah sedih dan gampang sekali menangis. 

Dua hari kemudian, di saat Asiyah berusia delapan hari, kami ke RS untuk pemeriksaan tersebut, dan betapa sedihnya saya ternyata bilirubinnya masih tinggi, malah naik sedikit dari terakhir pulang dari RS (berkisar 280). Beratnya pun tidak bertambah dari terakhir pulang. Saat itu juga bidannya menyuruh saya untuk menyusui Asiyah, setelah itu ditimbang lagi dan ternyata beratnya tidak bertambah, artinya menyusuinya belum benar. Kami diminta segera membawa Asiyah ke bangsal anak, ia diberikan susu formula setelah sebelumnya saya memerah ASI lagi dengan alat dari RS, yang hasilnya tetap berkisar 10-20ml saja. Pandangan saya kosong, sekosong hati saya.

Setelah itu kami diperbolehkan pulang dengan catatan dua hari kemudian bidan anak akan datang ke rumah melakukan pemeriksaan, kalau berat Asiyah masih belum naik juga maka boleh jadi kami terpaksa ke RS lagi. Itu pilihan yang seperti mimpi buruk bagi kami, kami ga mau sampai harus ke RS lagi, apalagi sampai harus menginap lagi. 

Maka dua hari itu, kami benar-benar menjaga asupan Asiyah, saya memompa ASI setiap setelah menyusui untuk memaksimalkan pengosongan pabrik ASI. Prinsip kerja produksi ASI adalah supply=demand, otak akan mengirim sinyal untuk memproduksi lebih banyak saat pabrik ASI-nya kosong. Hasil ASIP yang tak seberapa kami berikan, lalu hanya satu kali sehari kami beri tambahan sufor sekitar 40ml. 

Hari penentuan pun tiba, di usianya yang 10 hari, bidan anak datang, bidan yang akan menangani pemeriksaan tumbuh kembangnya sampai usia enam tahun. Ia menimbang dan betapa senangnya kami beratnya bertambah 200gram dalam dua hari. Sejak saat itu kami memutuskan melepas sufor sama sekali, begitu pun ASIP hanya diberikan kalau sangat terpaksa. 

Ikhtiar
Mungkin banyak yang kaget mengetahui fakta ini, bahwa dulunya Asiyah mendapat tambahan sufor selama sepuluh hari pertama hidupnya. Tapi saya sengaja tetap menuliskannya disini, untuk apa? Sebagai penyemangat untuk ibu-ibu lain yang mungkin memiliki kisah serupa bahwa insyaAllah kita bisa sukses menyusui, insyaAllah bisa lepas sama sekali dari sufor selama memang bertekad kuat siap berjuang keras untuk itu. Pada saat itu kami memandang pemberian sufor hanya bersifat sementara, dimulai di hari ketiga dan alhamdulillah sejak usianya sepuluh hari kami dapat melepasnya sama sekali.

Saya tidak mengharamkan sufor karena toh diawal pun Asiyah terpaksa mengecapnya, ini hanya idealisme saya saja untuk mengupayakan yang terbaik untuknya semampu saya, sebatas ikhtiar saya. Saya hanya yakin Allah menciptakan segala sesuatunya pasti bisa digunakan, untuk tujuan tertentu. Jujur saja kalau ga kuat-kuat dengan tekanannya rasanya tergoda sekali mengambil jalan pintas untuk menyerah saja. Maka beruntunglah siapapun yang Allah beri kemudahan dalam menyusui, karena ada ibu-ibu lain seperti saya yang perlu perjuangan keras di awalnya. Bahkan banyak yang ujiannya jauh lebih berat dari ini, dan sedikit-banyak tulisan-tulisan para ibu itu turut membangun semangat saya dulu. Semoga tulisan ini pun dapat jadi penawar, dapat menyuntikan semangat bagi para ibu yang lain.

Entah itu babyblues atau tidak, tapi saat itu saya merasa perjuangan memberi ASI ini bahkan lebih berat dari menyelesaikan tugas akhir S1, bahkan lebih membebani dari persiapan menjelang sidang akhir. Belum lagi pertanyaan atau prasangka orang-orang kadang membuat saya makin drop.
"Emang ASI-nya cukup?"--> Saya pun ga tahu, yang pasti pertanyaanmu ga membantu.
"ASI kamu banyak?" --> Taunya dari mana? Harus dikeluarin semua terus diukur mili-nya?
Dan sebagainya.

Tadinya saya berencana mendaftar kuliah di tahun itu, tadinya saya berencana mengambil IELTS bulan depan, tapi melihat kondisi itu saya ga sanggup. Bisa berhasil menyusui Asiyah adalah priorias utama bagi saya saat itu.

Segala ikhtiar yang mungkin saya upayakan mulai dari menambah stimulasi demand dengan diperah  (setiap tiga jam siang-malam, sampai diakhir bulan satu freezer penuh ASI), memijat dan mengompres payudara dengan minyak zaitun dua kali sehari, minum booster ASI (you name it; fenugreek, madu pro ASI, ASI fit), menghabiskan seluruh page thread tentang menyusui di forum theurbanmama (yes, more than 100 pages, belum lagi thread sejenis lainnya), curhat sama ibu baru lainnya (yang ternyata banyak yang merasakan perjuangan serupa), sampai nonton reality show korea The Return of Superman (ceritanya biar bahagia ketawa-ketawa, hehe), dan tentunya berdoa. Moto saya saat itu adalah, 'Menyusuilah dengan keras kepala.'

Titik Balik
Syukurnya bidan dan perawat anak disini benar-benar mendukung proses menyusui. Saya selalu disemangati, diajarkan, dan diyakinkan. Saat pemeriksaan di usia anak dua minggu, perawat tahu kalau saya masih suka memompa ASI sebagai tambahan stimulus, ia dengan tegas bilang kalau tidak perlu lagi memompa, ASI-mu cukup, beratnya meningkat baik kok. Tapi saya tetap ga yakin karena ngerasanya beratnya baik kan karena suka saya kasih tambahan ASIP juga. Dan juga hampir tiap menjelang malam, seperti ada alarm-nya, anak saya mulai gelisah dan saya merasa pabrik ASI sudah kosong. Saya makin curiga kalau ASI saya belum mampu memuaskan bayi saya.

Sampai akhirnya setelah Asiyah berusia 1,5 bulan saya curiga kok sepertinya dia nangis bukan karena lapar, karena dia sudah bisa nolak disuapin ASIP (ASI perahan). Lalu pelan-pelan saya mulai kurangi frekuensi memerah ASI karena toh selama ini ASIP jarang saya kasih melainkan terpaksa (kalau anak masih rewel setelah menyusu langsung). Akhirnya setelah dua bulan resmi sudah saya berhenti memerah ASI dan Asiyah selalu menyusu langsung. Pelan-pelan kepercayaan diri saya mulai meningkat bahwa ASI saya insyaAllah Allah cukupkan. 

Dan benarlah saat saya mulai PD, berat badan Asiyah yang tadinya naiknya minimalis jadi meningkat drastis. Di usia empat bulan dia resmi sudah jadi bayi kecil montok dengan empat lipatan di tangan dan kaki. Lemak-lemak yang menggambarkan malam-malam kurang tidur ibunya demi menyusui, hehe. Saya merasakan sendiri bahwa kunci sukses menyusui itu berawal dari pikiran dan perasaan, seperti kata orang-orang, menyusui itu mind game. Saat kita berpikir tenang, yakin, maka insyaAllah bisa. 



Asiyah 3 bulan, mulai berisi..


Asiyah 6 bulan, mulai siap makan..

Perjuangan Lanjutan
Perjuangan menyusui tidak berhenti sampai disitu. Sebagaimana bayi-bayi lain, ada masanya ia sulit menyusu. Mata sudah mengantuk, mulai rewel, tapi menolak disusui, padahal kalo menyusu dia mudah sekali jatuh tertidur. Atau ada juga masanya dia maunya menyusu sambil diayun. Benarlah Allah memberikan kemuliaan tersendiri bagi para ibu menyusui, perlu perjuangan dan kesungguhan dalam prosesnya yang belum tentu laki-laki mana pun akan sanggup. Siapa yang mampu membayar pekerjaan yang menyita fisik dan mental selama 24 jam sehari seminggu penuh? Hanya Allah yang mampu.

Terlepas dari segala warna-warni peluh dan airmata, semakin berjalannya waktu saya bisa merasakan nikmat yang tak terbeli apapun dari menyusui. Saat menyusui saya bisa berlama-lama memeluk dan menciumnya tanpa anaknya keburu kabur. Saat menyusui saya bisa menikmati berlama-lama bertapapan dengannya, matanya yang mengerjap-ngerjap saat menyusu benar-benar pemandangan surga, begitu polos dan menggemaskan. Saat menyusui saya bisa melihat ia merasa begitu nyaman sampai lama-lama matanya terpejam dan tertidur dengan tenang.

Saat usianya sekitar sembilan bulan, ia mulai suka berakrobat saat menyusu. Tidak seperti menyusui bayi kecil yang serba hati-hati, dan serba dibantu untuk memposisikan diri, di usia ini ia sudah cukup kuat dan mandiri. Ia bisa mencari sendiri posisi yang nyaman dan Bundanya tinggal melihat gayanya yang lucu-lucu. Proses menyusui pun semakin menyenangkan dan rasanya impas sudah perjuangan di awal dulu.

Lalu tanpa terasa sekarang sudah hampir dua tahun berlalu. Bayi kecil saya sudah bisa berlari dan bercerita. Kini sudah waktunya saya mulai menyapihnya. Sebenarnya sudah dari beberapa bulan lalu kami berencana memulai proses menyapih, setidaknya mengajarkan tidur malam tanpa ASI, tapi ternyata saya belum siap. Saat itu saya masih terlalu menikmati, belum siap dengan ketidaknyamanan keluar dari comfort zone. Tapi sekarang saya benar-benar harus menyiapkan diri, merelakan diri, dan menerima bahwa putri saya sudah bukan bayi lagi. Ia sudah bersiap memasuki fase hidup selanjutnya. 


Alhamdulillah for everything..


***


Biarlah ini nak, hadiah terindah dari Bunda atas izin Allah untukmu, 

yang tak akan bisa digantikan siapapun, tak akan bisa digantikan apapun.

Harapan Bunda sederhana saja, 

kelak saat kau besar nanti, 
saat Bunda bukan lagi pusat duniamu, 
tetap tertanam kuat ikatan di hati kita,
yang membuatmu selalu merasa nyaman dengan keberadaanku,
yang membuatmu selalu berusaha mencari keridhoanku,
yang membuatmu selalu memanjatkan doa untukku.

Karena dua tahun penuh kita selalu bersama, 

karena dua tahun penuh mengalir sari-sari cintaku di dirimu,
Ya, dua tahun paling berharga dalam hidupmu.

Hanya karena rahmat Allah, nak, Bunda bisa menyusuimu. 

Hanya karena rahmat Allah, nak, kau bisa mendapatkan hakmu.
Hanya karena rahmat Allah..



I love you because Allah..


Ditulis sebagai kenangan dan pembelajaran,

Dery Hefimaputri,
Göteborg, 16 Juli 2016.

Comments

  1. Salam kenal mbak Dery.. Sungguh mengharukan ya mbak proses menyusui itu.. Dan saya sangat suka petikan kata-kata di atas , "hanya karena rahmatMu" semua proses itu bisa terlewati ☺

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Persiapan IELTS Tanpa Preparation Class

Jalan-jalan Turki day 1: Ephesus!

Cerita Kehamilan di Indonesia dan Swedia