Orang Baik Di Sekitar Kita

Di Öppna Förskolan (Open Preschool - selanjutnya disebut 'sekolahan') ada anak namanya David, orang tuanya berasal dari Iraq. Mama David memanggilnya 'Daud' (David memanglah pengucapan barat dari Daud-Nabi Daud AS). David usianya sekitar 1,5 tahun, kurang lebih dua bulan lebih muda dari Asiyah. Dia punya dua kakak perempuan yang beda usianya sangat jauh, yang pertama usianya enam belas tahun, yang kedua dua belas (atau empat belas tahun, saya lupa). Saya sudah mengenal David dan mamanya sejak hari pertama Asiyah ikut Öppna Förskolan sekitar sembilan bulan lalu.

Sekitar dua minggu menjelang Ramadhan saya dan Mama David terlibat pembicaraan seru. Awalnya saya agak ragu apakah beliau muslim atau nggak, bukan apa-apa kadang walaupun pendatang dari negara islam ada aja yang nonmuslim, sekali pun muslim belum tentu practice islam (alias sebatas judul aja).

Sampai pembicaraan menyinggung tentang ia yang Agustus nanti akan mulai bekerja, beliau adalah seorang guru SD. Beliau bilang, walaupun agak gugup tapi merasa cukup tenang karena ada anak tertuanya, Sandra, yang sangat bisa diandalkan. Dia bilang, "She is amazing, I can leave him with her with no worries."

"Wow, you're lucky. Ga semua remaja bisa nurut gitu. Apalagi kalo udah pada mulai kenal laki-laki, mulai pacaran, bisa sibuk sendiri sama urusannya."

Beliau tersentak, saya jadi kebingungan, salah ngomong ya saya?

"Enggak, saya muslim. Dan kami ga mengenal pacaran, anak saya tahu itu. Walaupun saya ga berkerudung tapi saya menganggap penting agama. Saya shalat, puasa, dan semuanya. Saya hanya ga mau orang menilai saya dari apa yang saya kenakan."

Oh, ternyata tentang pacaran tadi. Beliau kaget, dan mungkin agak tersinggung saya menyinggung soal pacaran. Beliau sangat tegas dalam hal ini, lalu beliau melanjutkan,

"Saya bersyukur sekali dengan puteri saya ini. Saya bisa merasa aman walaupun saya meninggalkan dia dengan seratus laki-laki sekalipun, saya tahu dia bisa jaga diri."

Gantian saya yang kaget dan penasaran sekarang, gimana cara dia mengasuh puterinya di negara sebebas ini. Lalu saya bertanya dan dia bilang,

"Sejak kecil saya selalu menanamkan, ini-ini-ini (dada, bokong, kemaluan) ga boleh ada yang lihat apalagi sentuh. Badan kita berharga. Saya juga menanamkan nilai-nilai agama sejak kecil, saya bicara dengan lugas sekaligus menjadi temannya."

Akhirnya pembicaraan itu juga menyangkut ke topik puasa,

Saya bertanya, "Apa kamu berencana puasa tahun ini? (mengingat kondisi beliau yang juga menyusui)."

"Tentu. I love Ramadhan. Tahun lalu pun saat Daud masih bayi saya juga puasa. Alhamdulillah Allah kasih kekuatan. Kalo kita percaya, maka kita bisa."

Jujur, sebelum detik itu, saya berpikir akan menyerah ga puasa di tahun ini. Pertama, karena masih menyusui dan Asiyah masih kuat nyusunya. Kedua, ini lagi summer, artinya malam sangat pendek.

Tapi setelah mendengar kata-kata beliau, pancaran semangat di wajahnya, energi positif itu merasuk begitu saja. Beliau bener, kenapa saya menyerah sebelum berperang? Maka perlahan-lahan, sejak saat itu saya mengubah mindset untuk akan berpuasa di tahun ini. Sejak saat itu saya berusaha menggali apa yang dapat saya lakukan biar kuat puasa, diantaranya akhirnya nemu resep jus kurma susu yang ga pernah absen saya minum sampai hari ini.

Sayangnya sejak pertemuan itu, beliau ga datang-datang lagi ke sekolah.

Lalu pagi ini, setibanya di sekolah dan baru ada dua orang anak disana, saya membatin, 'Mau deh ketemu sama Mama David lagi, saya mau bilang makasih.'

Ga berapa lama, saat lagi snack time, dari ruang makan, saya lihat ada sosok anak lelaki menggemaskan berlari ke dalam, itu David! Tapi, kok yang mengejarnya dari belakang berbeda, wanita muda bertubuh tinggi besar. Ternyata itu Sandra! Sang kakak perempuan yang begitu mamanya banggakan. Ga berapa lama barulah muncul Mama David.

Sepanjang sekolah, Mama David bisa leluasa ngobrol dengan ibu-ibu lainnya, dan David diasuh oleh kakaknya, Sandra. Sandra dengan sabar ngikutin kemana pun David pergi, dengan tenang dan tanpa mengeluh.

Saat ada kesempatan, saya pun menghampirinya dan bilang,
"Mama David, makasih banyak ya karena pembicaraan kita yang lalu, saya jadi terkuatkan untuk puasa. Dan alhamdulillah sampai sekarang saya masih puasa."

Senyumnya mengembang dan serta-merta memeluk saya, beliau bilang,
"Saya senang dengernya. Tentu, insyaAllah bisa. Kalau kita suka dan cinta, maka insyaAllah bisa. Dan saya sangat cinta dengan Ramadhan. I love Ramadhan."

Ah, lagi-lagi saya terharu.

Kita memang ga pernah tahu, Allah kirim sokongan dari siapa. Saya merasa senang sekali Allah pertemukan dan izinkan percakapan itu terjadi,  yang sedikit banyak jadi pemantik semangat saya untuk berpuasa. Karena memang, Ramadhan tanpa puasa itu ibarat toko buku tanpa buku(?), ga nendang rasanya. Semoga hanya karena Allah kita berpuasa, dan hanya karena Allah kita saling menguatkan.






Göteborg,
14 Juni 2016,
9 Ramadhan 1437H


Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Persiapan IELTS Tanpa Preparation Class

Jalan-jalan Turki day 1: Ephesus!

Cerita Kehamilan di Indonesia dan Swedia