Dibalik Kisah Zaid Bin Haritsah; tentang Kesetaraan dalam Rumah Tangga

_disarikan dari kajian Ustadz Budi Ashari, (video disertakan dibawah)_

Dari seratus ribu lebih sahabat mulia, hanya satu orang sahabat yang namanya tercantum dengan jelas dalam alquran. Ialah Zaid Bin Haritsah, putera angkat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.

Namanya diabadikan dalam ayat yang membahas mengenai rumah tangga, Al-Ahzab ayat 37.

“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan ni’mat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi ni’mat kepadanya: “Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. 
Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mu’min untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya . Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.” (al-Ahzab: 37)

Sayangnya ayat tersebut bukanlah tentang rumah tangga yang berujung bahagia, melainkan berakhir dengan perpisahan.

Zaid Bin Haritsah, anak angkat yang begitu disayang Rasulullah SAW, dinikahkan langsung oleh beliau dengan Zainab Binti Jahsy. Zainab adalah wanita yang cantik, dari keturunan terhormat suku qurays, bahkan termasuk sepupu Rasulullah SAW.

Suatu waktu, Zaid datang menghadap Rasulullah SAW, meminta izin hendak menceraikan Zainab, ia sudah tidak tahan lagi dengan rumah tangganya. Rasulullah SAW sampai menahan keinginannya, "amsik 'alayka zawjak; pertahankan isterimu." Tapi Zaid sudah tidak tahan lagi, akhirnya ia menceraikan Zainab di usia pernikahan sekitar satu tahun.

Kelak, setelah perpisahannya dengan Zainab, Zaid menikah dengan Ummu Ayman dan melahirkan orang-orang hebat, salah satunya panglima perang di usia muda, Usamah Bin Zaid. Tapi alih-alih menggambarkan pernikahan keduanya yang istimewa, Allah mengabadikan pernikahannya dengan Zainab. Ayat ini turun sebagai peringatan, ada hal besar yang dapat kita pelajari. Di samping itu ayat ini juga menjelaskan suatu ketetapan hukum, fiqih, tentang bolehnya ayah angkat menikahi mantan isteri anak angkatnya, dimana kemudian Allah memerintahkan Rasulullah SAW untuk menikahi Zainab, sehingga beliau kelak menjadi ummahatul mukminin. 

Bagaimana bisa dua orang mulia bertemu dalam suatu rumah tangga tapi akhirnya berpisah?
Kisah ini menerangkan bahwa tidak cukup kesholehan saja dalam pernikahan, perlu ada ilmu lain agar rumah tangga tidak retak. Bila kedua pihak sedemikian mulia saja bisa berakhir dengan perpisahan, maka bagaimana dengan yang tidak demikian? Atau bagaimana bila yang satu sholeh dan yang satu rusak? Para ulama menyebutkan, perlu yang disebut dengan al-kafa'ah atau kufu'; kesetaraan.

Para ulama mengatakan, kesetaraan yang dimaksud, nomor satu dan selalu, adalah tentang agama. Dalam fiqih, memang bahkan laki-laki muslim boleh menikah dengan wanita ahli kitab, secara fiqih halal. Tapi rumah tangga bukan hanya sekedar sah atau halal, ada kebesaran yang sedang di bangun, apa artinya suatu rumah tangga yang dibangun tanpa adanya satu visi? Bahkan yang sama-sama muslim dan muslimah saja bisa timpang ilmunya, diperlukan kebersamaan dalam kesholehan.

Apa sebenarnya penyebab utama perceraian Zaid dan Zainab?
Para ulama mengatakan, Zainab RA memiliki lisan yang suka menyebut-nyebut kebesaran dirinya (beliau wanita cantik, dari keturunan terhormat quraisy), sedangkan Zaid adalah mantan budak, dijual di pasar penjualan budak sekitar Mekah, dan bukan keturunan arab. Ternyata sang istri tidak kuasa menahan lisannya dari meninggikan diri di hadapan suami. Sang istri tidak kuasa untuk menahan lisannya untuk mengatakan kalimat-kalimat yang menunjukan kehebatan dirinya.

Bagi laki-laki ada masa bagi kesabarannya, ada batasannya, bila kepemimpinannya (qowwamah) direndahkan. Ini juga pelajaran berharga bahwa bagi laki-laki, ada qowwamah yang tidak boleh jatuh dan tidak boleh dijatuhkan.

Dan biarkan kita belajar, bahwa kita sebagai suami-istri perlu untuk senantiasa menyetarakan diri dalam kebaikan, dalam ilmu, dalam keridhaan Allah SWT. Adalah dalam keadaan bahaya jika suatu rumah tangga tidak dalam satu visi yang sama, tidak setara kesolehannya, tidak setara ilmunya. Kesetaraan ini jadi pelajaran mahal bagi ummat Muhammad yang diabadikan dalam alquran.

Belajar dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
"Sesungguhnya telah ada dalam diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. Al-Ahzab [33] ayat 21)

Maka belajarlah dari manusia paling mulia, Rasulullah SAW. Sebenarnya beliau juga tidak setara saat menikah dengan Khadijah RA. Khadijah merupakan bos beliau, secara harta dan kedudukan jauh diatas beliau. Namun Rasulullah SAW mampu naik sebagai seorang qowwam, dan Khadijah mampu menurunkan diri di hadapan suaminya. Ini hal istimewa karena kalau posisi sebaliknya (wanita yang lebih dibawah posisinya) biasanya tidak masalah karena laki-laki memang posisinya adalah pemimpin, qowwam. Tapi Khadijah RA berhasil menempatkan dirinya, inilah yang istimewa.

Semoga Allah bimbing keluarga kita, dalam ilmu, dalam ketakwaan..



gambar dari sini



Comments

Popular posts from this blog

Persiapan IELTS Tanpa Preparation Class

Jalan-jalan Turki day 1: Ephesus!

Cerita Kehamilan di Indonesia dan Swedia