Datum
Dalam mengukur sesuatu kita butuh satu titik tempat berangkat agar pengukuran akurat. Begitu pun dalam hidup, ada begitu banyak konflik dan kasus yang sangat mungkin membuat bingung bila kita tidak punya satu tempat berdiri sebagai acuan. Katakanlah dalam hal mengasuh anak, dokter A bilang diatas setahun sudahi saja ASI-nya, dokter B bilang menyusui itu bagusnya sampai dua tahun, kalau kita tidak punya titik pijak maka sangat mungkin pikiran kita terombang-ambing ga tentu arah. Begitu juga dalam aneka hal lainnya, ada banyak pendapat dan kata orang yang kalau diikutin sih kedengerannya keren dan meyakinkan semua, tapi apa iya semuanya bener?
Lagi-lagi, sejauh apapun pikiran mengembara, pada akhirnya ia bertekuk lutut pada kebenaran Sang Pencipta. Benar dan salah, baik dan buruk, semua sudah didefinisikan dengan sempurna. Bahkan Ia menurunkan rasul sebagai pemberi contoh agar semakin jelas apa yang harus diikuti. Jujur, sebelum mendengar tentang kisah rasul mendidik anak (parenting nabawiyah) saya kerap kebingungan bagaimana harus bersikap ke anak. Setelah tanpa sengaja diberitahu seorang teteh tentang Ustadz Budi Ashari di youtube, saya merasa terselamatkan dari aneka kebingungan. Tentu ilmu yang saya pelajari jauh dari sempurna, tapi setidaknya saya sudah tahu kemana harus menggalinya.
Benarlah, sudah diberikan suri tauladan yang baik dalam diri Rasulullah SAW.. Dan benarlah, sudah seharusnya kita berislam secara kaffah.
Berat memang.
Tapi setidaknya tumbuhkan dulu niatan kesana. Tetapkan dulu titik acuan kita akan kebenaran. Kalaupun saat ini masih berat kita mengikutinya, sungguh tak apa, semua butuh berproses, semua butuh waktu untuk menjadi sempurna. Tapi, ketidakmampuan kita mempraktikan suatu amalan, jangan sampai menihilkan amalan itu. Sebagai contoh, masih berat terasa menggunakan hijab menutup dada saat ini, setidaknya dalam hati kita meyakini bahwa itulah yang benar dan kita menuju kesana, bukannya menihilkan hijab apalagi sampai memandang rendah mereka yang menggunakannya.
Karena sampai kapanpun,
benar adalah benar, dan salah adalah salah.
Perintah adalah perintah, dan ingkar adalah ingkar.
Benar dan salah sudah jelas. Perihal kita belum melakukannya itu lain soal.
Lagi-lagi, sejauh apapun pikiran mengembara, pada akhirnya ia bertekuk lutut pada kebenaran Sang Pencipta. Benar dan salah, baik dan buruk, semua sudah didefinisikan dengan sempurna. Bahkan Ia menurunkan rasul sebagai pemberi contoh agar semakin jelas apa yang harus diikuti. Jujur, sebelum mendengar tentang kisah rasul mendidik anak (parenting nabawiyah) saya kerap kebingungan bagaimana harus bersikap ke anak. Setelah tanpa sengaja diberitahu seorang teteh tentang Ustadz Budi Ashari di youtube, saya merasa terselamatkan dari aneka kebingungan. Tentu ilmu yang saya pelajari jauh dari sempurna, tapi setidaknya saya sudah tahu kemana harus menggalinya.
Benarlah, sudah diberikan suri tauladan yang baik dalam diri Rasulullah SAW.. Dan benarlah, sudah seharusnya kita berislam secara kaffah.
Berat memang.
Tapi setidaknya tumbuhkan dulu niatan kesana. Tetapkan dulu titik acuan kita akan kebenaran. Kalaupun saat ini masih berat kita mengikutinya, sungguh tak apa, semua butuh berproses, semua butuh waktu untuk menjadi sempurna. Tapi, ketidakmampuan kita mempraktikan suatu amalan, jangan sampai menihilkan amalan itu. Sebagai contoh, masih berat terasa menggunakan hijab menutup dada saat ini, setidaknya dalam hati kita meyakini bahwa itulah yang benar dan kita menuju kesana, bukannya menihilkan hijab apalagi sampai memandang rendah mereka yang menggunakannya.
Karena sampai kapanpun,
benar adalah benar, dan salah adalah salah.
Perintah adalah perintah, dan ingkar adalah ingkar.
Benar dan salah sudah jelas. Perihal kita belum melakukannya itu lain soal.
Dari Abu Sa’id Al Khudri radiallahuanhu berkata, Saya mendengar Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Siapa yang melihat kemunkaran maka ubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka ubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman. (Riwayat Muslim)
Kalau di hati saja kita tidak mampu menolak kemungkaran, masih abu-abu dalam menentukan baik dan buruk, maka apa kabar iman kita? Padahal itulah indikator selemah-lemah iman..
Comments
Post a Comment