Kesadaran Kolektif

Kau tahu, kadang suatu kebaikan itu tak terduga darimana arahnya. Hal kecil yang kita lakukan boleh jadi dampaknya sangat besar bagi orang lain.

Siang kemarin, Asiyah minta diambilkan buku-buku di rak tinggi, saat saya ambilkan saya baru sadar kalau dulu pernah dikasih majalah kecil dari Mbak Abida saat beliau kembali ke Indonesia. Beliau memang melungsurkan buanyaak barang mulai dari tumpukan buku, pakaian, stroller, sampai koper.

Asiyah asik membolak-balik buku miliknya, saya pun mencoba membaca beberapa lembar dari majalah ini. Dan ternyata, isinya banyak yang mengena, tiap kalimatnya penuh makna.

Berikut salah satu tulisannya yang saya ketik ulang, sumbernya saya sertakan di bawah.

*
Kesadaran Kolektif

Di dalam kelas yang terbiasa curang, kejujuran akan disebut sebagai kesombongan hingga sangat sulit dilakukan. Tapi dikelas yang sadar akan arti kejujuran, kecurangan akan dipandang sebagai perbuatan memalukan. Jujur pun mudah diterapkan. Tinggal bersama keluarga atau lingkungan yang terbiasa berkata kasar dan jorok, susah untuk tidak kelepasan ikut-ikutan ngomong jorok. Tapi bersama orang-orang yang sadar bahwa akhlak mulia adalah sesuatu yang membuat manusia bernilai, berlaku sopan bukanlah hal sulit. Dan, hidup di lingkungan yang terbiasa buang sampah sembarangan, berlaku bersih barangkali butuh pemaksaan diri, karena kebersihan akan dipandang sebagai idealisme yang merepotkan. Tapi di lingkungan yang sadar bahwa kebersihan adalah kebutuhan, bersih adalah sebuah keharusan.

Dari ketiga contoh diatas, ada kesimpulan sederhana yang bisa kita tarik. Yaitu kebaikan akan lebih mudah dijalankan jika dilakukan secara-bersama-sama, secara berjamaah. Berangkat dari kesadaran dan semangat yang sifatnya kolektif yang kemudian membentuk bi'ah, habitat untuk kebaikan tersebut. Di dalamnya, sebuah kebaikan akan menjadi sebuah kesepakatan tak tertulis yang harus dijalankan. Masing-masing pribadi akan merasa ringan melaksanakannya karena orang-orang di sekitarnya mendukung, sadar dan seperti telah sepakat untuk melestarikannya.

Barangkali ini pula yang membuat ibadah shaum terasa ringan bagi kita karena tinggal di negeri berjuta muslim. Padahal shaum sebulan penuh itu bukan ibadah ringan. Jangankan orang dewasa, anak kecil saja banyak yang sukses menjalankan shaunya sebulan penuh. Bandingkan dengan saudara kita yang minoritas di suatu negeri. Shaum bukanlah amalan enteng.

Kita merasa ringan karena orang-orang di sekitar sadar -karena mereka muslim- dan sepakat bahwa Ramadhan haruslah dihormati. Makanya, 'tidak shaum' terkadang justru merepotkan dalam beberapa hal karena hampir semua orang melaksanakan shaum. Tak hanya itu, kesadaran bersama ini seperti merasuk dan mewarnai semua yang ada di sekitar kita. Menyebar hingga mampu merangsek dan menekan spirit-spirit jahat ahli maksiat yang mengajak kepada pelanggaran.

Sama-sama berstatus sebagai ibadah wajib, ada perbedaan kontras antara shaum Ramadhan dan jilbab. Jika hampir semua orang memahami dan menghormati pelaksanaan rukum Islam keempat ini hingga ringan pelaksanaannya, tidak demikian halnya dengan jilbab. Di beberapa tempat, melaksanakan wajib jilbab bagi muslimah seperti menggenggam bara dengan kedua tangan. Berat, sulit, dan bahkan sangat menyakitkan. Hal itu karena orang-orang disekitarnya banyak yang belum mudeng bagaimana seharusnya muslimah berpakaian. Jilbab pun menjadi asing, aneh, bahkan mungkin dibenci.

Dari sini kita sadari betapa pentingnya arti sebuah kesadaran bersama. Tidak hanya jilbab, syariat Islam dan kebaikan secara umum akan jauh lebih ringan dilaksanakan jika berada dalam bi'ah yang shalihah. Untuk itu, jika kita ingin sebuah kebaikan menjadi ringan dalam pelaksanannya, kita harus menyosialisasikannya, mendakwahkannya, dan menyadarkan lingkungan akan urgensi kebaikan tersebut. Nah, Ramadhan adalah waktu yang paling tepat untk memulainya. Sudah siapkah kita?

Majalah Ar-Risalah, No.98/Vol.IX/2, Ramadhan 1430 H/2009

*

Tulisan ini mengingatkan saya tentang postingan saya sebelumnya ini, Hold On To Your Light. Betapa Allah sudah mengingatkan kita, bahwa lingkungan yang baik itu segalanya. Tentu lebih nyaman memasrahkan diri pada arus deras yang menuju kebaikan, dibanding harus berenang menguras energi melawan arus yang salah arah?

Tentu, akan kita temui lingkungan yang tidak ideal. Dan memang harus kita 'dekati' lingkungan yang tidak ideal, tapi semata agar kita dapat menjadi cahaya disana. Seperti kutipan Nouman Ali Khan, hidayah itu cahaya, maka sewajarnya mereka yang lebih paham yang mendekati mereka yang butuh cahaya. Tapi ingat, kita kesana sebagai tempat 'bekerja' dan bukan sebagai 'rumah tinggal'. Dan sebagaimana mereka yang bekerja, dibutuhkan landasan iman yang kuat dan bekal ilmu agar dapat berhasil.

Makasi banyak Mbak Abida atas majalahnya, jazakillah khayr..

Wallau'alam bishawab. Semoga bermanfaaat.

Comments

Popular posts from this blog

Persiapan IELTS Tanpa Preparation Class

Jalan-jalan Turki day 1: Ephesus!

Cerita Kehamilan di Indonesia dan Swedia