Menjadi Kakak

Sebagai anak pertama, saya selalu punya keinginan terpendam untuk bisa merasakan seperti apa rasanya punya kakak.

Teringat saat kecil dulu, teman-teman dekat saya kebanyakan adalah anak bungsu, iri sekali rasanya melihat mereka bercerita tentang kakak-kakaknya. Mereka juga jauh lebih unggul dalam wawasan,  "Tahu dari kakak", katanya, seketika saya merasa cupu sekali.

Walaupun begitu saya punya banyak kakak sepupu yang bisa dibilang kami cukup dekat. Hanya saja, tak bisa dipungkiri, bagaimanapun rumah kami berjauhan sehingga waktu kami berinteraksi terbatas.

Saya memang merasa sangat nyaman bergaul dengan mereka yang usianya jauh diatas saya. Mama sering bilang, saya 'cepat dewasa' karena sudah jadi kakak sedari bayi, heu. Entahlah, saya melihat orang yang lebih besar itu elegan dan berkharisma(?).

Saya cukup beruntung saat saya kira-kira kelas 4 SD, ada seorang kerabat jauh yang diajak mama tinggal di rumah. Saya panggil beliau 'Uni'. Setiap malam, saya selalu menodong Uni untuk bercerita terlebih dahulu sampai saya tertidur. "Bebas cerita apa aja, yang penting cerita," pinta saya. Beliau mengisi ruang kosong itu, sedikit banyak kerinduan saya akan sosok kakak terobati.

Hingga akhirnya beliau pergi untuk berkuliah di luar kota. Saya kembali mendambakan seorang kakak.

Saya ingat, saat itu saya kelas 2 SMP, saat saya pertama kali ikut bimbingan belajar di daerah Condet. Sebut saja di Nurul Fikri. Disana saya kembali menemukan sosok panutan, beliau adalah guru matematika saya, namanya Kak Yusra. Kami cukup dekat, tak hanya sebatas guru-murid tapi sudah seperti layaknya teman. Saya kerap ke rumah beliau untuk tambahan belajar, kami juga pernah pergi ke pameran buku bersama. Saya merasa begitu nyaman bercerita dengan beliau, tentang apa saja. Beliau tidak pernah mengerdilkan saya, beliau memposisikan diri selayaknya sahabat. Padahal beda usia kita lebih dari 10 tahun.

Tak lama saya pun masuk SMA, otomatis pertemuan saya dan Kak Yusra mulai berkurang. Apakah saya tetap mencari sosok kakak? Ya, tentu! Dan betapa beruntungnya saya, ruang kosong itu selalu berhasil diisi oleh para kakak di mentoring ROHIS. Para kakak yang saat itu sudah berstatus mahasiswa dan rela kembali ke SMA untuk mendampingi kami mengenal dien kami. Apakah yang lebih indah dari dua insan yang saling menyayangi karena-Nya?

Seluruh sosok kakak dalam hidup saya benar-benar luar biasa. Mereka memperlakukan saya selayaknya kami seusia. Well, setidaknya saya merasa seperti itu. Padahal saya hanya bocah ingusan yang belum punya apapun untuk dibanggakan.

Sayangnya, saya terlena, saking sibuknya saya mencari sosok kakak, saya lupa kalau saya punya adik-adik. Saya lupa, kalau seharusnya saya juga dapat jadi kakak yang baik bagi mereka. Saya terlalu asik dengan dunia saya sendiri.

Beberapa kali saya tersadar untuk turut mendampingi adik saya, memberi nasihat segala rupa. Tapi saya begitu takut kalau-kalau cara saya salah sehingga mereka jengah. Begitu terus sampai akhirnya seorang adik mengingatkan saya dengan cukup keras. Kemana saja saya selama ini?

Cinta memang tak cukup hanya disimpan dalam hati. Ia menuntut untuk dibuktikan dengan perbuatan dan pengorbanan.

Dan somehow saya merasa agak terlambat. Sudah lebih terbatas yang dapat saya lakukan untuk para adik saya. Mungkin tidak mudah lagi bagi saya untuk dapat menjadi sosok panutan mereka. Mungkin benar kata orang, ada fase usia yang mana banyak orang lebih mendengarkan 'orang lain' dibanding keluarga mereka sendiri.

Disaat saya sedang sedih begitu, tiba-tiba adik-adik mentoring saya dulu menyapa. Menceritakan suasana hati mereka. Seketika saya tersadar. Saya adalah 'orang lain' bagi banyak adik diluar sana, yang boleh jadi apa yang saya katakan lebih membekas dalam kalbu mereka ketimbang keluarga mereka sendiri.

Saya belajar untuk menempatkan setiap 'adik' sebagaimana keluarga saya sendiri. Ya, hakikatnya memang kita semua saudara, but you know what I mean, right? Saya mencoba sepenuh hati menjadi kakak bagi para 'adik' saya. Sebagai wujud ikhtiar, boleh jadi dengan hal kecil yang saya lakukan dapat membawa dampak besar bagi mereka. Saya percaya, apa yang dilakukan oleh hati, akan sampai ke hati pula.

Dan semoga dengan saya berusaha menjaga para adik ketemu besar ini, dapat menjadi jalan untuk Allah turut menjaga adik-adik saya.

I love you all, because of Allah..
Sabtu, 20 Febuari 2016.
23.33 CET

Comments

Popular posts from this blog

Persiapan IELTS Tanpa Preparation Class

Jalan-jalan Turki day 1: Ephesus!

Jalan-jalan Turki day 2: Pamukkale!