Your Day; Asiyah Rania

Gothenburg, Swedia.

19 Oktober 2014, 40 Weeks.
Hari itu hari Minggu, kami (saya, mas suami, dan mama) kerja bakti bebersih rumah. Demi melancarkan persalinan, saya pun ngepel seluruh rumah ala inem. Sejauh ini belum ada tanda-tanda persalinan yang muncul, selain sakit pinggang yang rutin datang sejak minggu ke tiga puluh delapan.

Hari ini bertepatan dengan bertambahnya usia saya menjadi 22 tahun. Yap, HPL jatuh di hari ulang tahun saya. Tapi sepertinya anak bayi ingin punya tanggal ulang tahunnya sendiri :)

Mama datang seminggu sebelum due date

Jalan santai menikmati suasana autumn

20 Oktober 2014, 40 Weeks 1 day.
Olahraga ringan di gym ball rutin dilakukan tiap saat, hitung-hitung pengganti duduk di kursi. Yoga juga masih rutin dilakukan.

Sorenya saya dan mama jalan-jalan di sekitaran kompleks apartemen. Tetap belum ada tanda-tanda persalinan akan terjadi dalam waktu dekat.

Nak, lihatlah, kami sangat menantikan kehadiranmu.. Keluarlah saat kamu siap ya..


Di sekitar apartemen, perut mblendung maksimal

21 Oktober 2014, 40 Weeks 2 days.
Dini hari saya terbangun, celana saya terasa basah. Apa ini yang namanya pecah ketuban ya? Perut pun mulai sakit, sepertinya ini kontraksi ringan. Namun karena rasa sakitnya masih bisa ditahan, saya pun bablas tidur lagi. Saat itu saya ga tahu, kalo itulah tidur nyenyak lama terakhir saya (sampai entah kapan).

Paginya saya menceritakan kegelisahan saya ke suami dan mama. Tak lama suami pun menelfon RS, mereka bilang kami boleh datang untuk diperiksa. Di Swedia memang harus nelfon dulu sebelum datang ke RS.

Kami memutuskan ke RS naik bus, niatnya biar memancing bukaan. Rasa sakit kontraksi terus datang dan pergi dengan jeda 3-4 menit. Walaupun intervalnya termasuk singkat, rasa nyerinya hanya di area perut aja. Setahu saya kalo mau lahiran itu nyerinya sampai ke pinggang dan menjalar ke bawah. Jadi walaupun kontraksinya sering, namun masih bisa ditahan, masih bisa dibawa senyum.

Penampakan luar RS

Kami sampai di RS jam 1 siang. Tanpa menunggu lama, saya dan suami dipersilahkan masuk ke salah satu ruang periksa.

Bu bidan periksa dalam dan ternyata ketuban saya baik-baik aja, ga ada rembesan. Katanya, kemungkinan yang saya kira ketuban itu adalah mucus plug. Menjelang lahiran memang mucus yang menutupi jalan lahir akan keluar.

Alhamdulillah, saya lega. Sempet takut kalo emang ketuban pecah artinya segel yang menjaga bayi udah rusak sehingga kuman bisa masuk dengan mudah.

Terus lanjut bu bidan, belum ada bukaan(!). Laah bu bidan, ini saya meringis mulu tiap 3-4 menit kok bisa belum ada bukaan? Tenang aja, serviks-nya udah menipis, bentar lagi ini lahirannya, hibur bu bidan. Akhirnya kami pun pulang lagi. Seperti yang pernah saya singgung di post sebelumnya, di Swedia ini ibu hamil emang disarankan selama mungkin menunggu bukaan di rumah.

Pulangnya kami naik bus lagi, tentunya tetap dengan nahan sakit setiap 3-4 menit.

Begitu sampe rumah, munculah bloody show, alias bercak darah. Yes! salah satu tanda persalinan udah muncul. Saya semakin semangat menghadapi nyeri kontraksi yang makin lama makin aduhay. Sebisa mungkin saya ga rebahan, niatnya sih biar si bayi cepet turun dan membuka jalan lahir. 

Akhirnya saya goyang inul di gym ball sampe cape, terus duduk tegak di kasur, gitu aja terus. Jam 9 malam rasa sakitnya mulai menjalar ke bagian pinggang belakang sampai ke bawah. Feeling saya mengatakan kalo waktunya sebentar lagi. Tapi suami saya menyarankan untuk coba dibawa tidur dulu aja, katanya daripada ntar ke RS disuruh pulang lagi :")

Saya pun mencoba tidur disela-sela kontraksi. Yak, tentu aja ga bisa mata ini merem. Begitu baru mulai relaks eh kontraksi dateng lagi. Hadeh..

Sekitar jam 10 malam saya merasakan dorongan ke bawah. Feeling saya mengatakan kalo kontraksi ini udah 'beneran', dedenya rasanya udah dibawah banget. Akhirnya saya bangunin suami, bilang ini kayanya udah bentar lagi, udah ga bisa ditahan lagi. Akhirnya suami nelp RS dan kita disuruh dateng. Naik apa ke RS-nya? Tentunya naik taksi, boro-boro naik bus, melangkah keluar apartemen aja udah penuh perjuangan. Duduk di taksi pun udah ga jelas gayanya, miring- miring nahan sakit.

Sekitar 15 menit kemudian kami sampai di RS. Disana sudah ada bidan cantik yang menunggu kedatangan kami, namanya Bidan Charlotte. Kami pun disuruh masuk ke ruang periksa. Saya diminta berbaring dan dipasangkan alat pendeteksi kontraksi. 

Bu Bidan nanya, "Udah berapa menit sekali kontraksinya?"
"3-4 menit sekali bu bidan.."

Dan beberapa pertanyaan lain yang saya jawabnya diselingi pause kalo kontraksi datang. Bidannya baik banget, kalo kontraksi datang dia akan diam, membiarkan saya menikmatinya dulu. 

"Alat ini akan merekam kontraksi kamu. Saya balik 20 menit lagi ya." Jadi kontraksi saya dipantau dalam 20 menit itu melalui alatnya.

Apa perasaan saya? Sakit sih, tapi hati rasanya tenang dan nyaman. Pembawaan bidan yang positif dan ramah sangat membantu membuat saya relaks.

20 menit pun berlalu. Bu bidan melihat hasilnya di layar komputer.

"Wah bener nih kontraksinya tiap 4 menit, kita cek dalem ya."
"Udah bukaan berapa bu bidan?"
"Hmm.. 7."
Bidan yang tadinya santai jadi agak 'terdiam'.

Saya emang ngerasa kalo ini udah fase active labor karena rasa kontraksinya 'beda', tapi ga nyangka kalo udah bukaan sebanyak itu. Saya kira bakal sekitar bukaan 4. Melihat ekspresi saya yang kebingungan, bu bidan pun berkata, "Saya juga ga nyangka udah segitu. Ga keliatan dari ekspresi kamu." Heu, kurang dramatis ya bu?

Mondar-mandir di blog gentle birth ternyata bermanfaat sekali, mindset saya tentang rasa sakit kontraksi berubah. Tadinya suka horor sama proses melahirkan, yang kebayang bakal sakiit dan berdarah-darah. Ternyata setelah dijalani terasa tenang dan senang. Tentu sakit. Banget. Tapi bukan sakit yang bikin pengen marah-marah, bukan sakit yang negatif. Sakit yang saya rasakan mengalir dengan nyaman, sebagai pertanda malaikat kecil kami sedang berjuang untuk melihat dunia. Saya yakin dalam proses melahirkan, bukan hanya ibu yang berjuang, si bayi pun berjuang sekuat tenaga menemukan jalan lahirnya. My little champ is on her way to meet her mom.

"Berarti saya ga akan disuruh pulang lagi kan bu?" 
"Tentunya enggak, mari kita pindah ke ruangan kamu." 

Kami pun berjalan ke kamar bersalin. 

Disini ga ada bedanya kamar tunggu bukaan dan kamar bersalin. Ibu melahirkan di ruangan yang dari awal dia tempati. Kamarnya luas, ada kasur, kursi sofa, dan westafel di dalamnya. Kamar mandi? Kebetulan di kamar ini tidak tersedia, kamar mandinya terpisah diluar ruangan.


Mama ikut mendampingi di ruang bersalin

Setelah berganti pakaian, saya meminta gym ball untuk exercise ringan. Sayangnya gym ball-nya terlalu empuk, kurang pas rasanya, tapi daripada ga ada masi lumayan lah. Saya bener-bener suka menghabiskan waktu diatas gymball.

Ga lama bu bidan meminta saya untuk istirahat. "Kamu perlu menyimpan energi untuk nanti." Maka untuk pertama kalinya saya rebahan sejak kontraksi datang pertama kali sekitar 19 jam lalu.

Rasa sakit yang saya rasakan mendorong saya untuk mengalirkan energi dalam bentuk pelukan. Saat kontraksi sedang di puncaknya, saya peluk suami erat-erat. Atur nafas. Rasanya nyaman sekali. Pelan-pelan sakit pun mereda. Istirahat. Lalu kontraksi datang lagi. Begitu terus berulang-ulang. Rasanya suami harus bersyukur dengan aneka info gentlebirth, hasrat nyakar-nyakar atau nyubit-nyubit beralih jadi memeluk.


Thanks for the hugs, dear husband

Sekitar 1 jam kemudian bidan datang lagi untuk mengecek bukaan, sudah bukaan 8 katanya. Saya ingat betul, setelah bukaan 8, muncul sensasi baru yakni ingin mengejan. Tentunya sebelum bukaan lengkap saya belum boleh mengejan dulu. Jadilah 'penderitaan' bertambah satu yakni nahan ngejan. Sakit kontraksi ga ada apa-apanya dibanding menahan rasa mau mengejan.

22 Oktober 2014, 40 Weeks 3 days.
Tengah malam pun terlewati, tiba-tiba saya merasa mau buang air kecil. Ditemani suami saya pun ke toilet yang ada di seberang kamar. Ternyata di tengah-tengah prosesi buang air dorongan untuk mengejan ga bisa ditahan lagi, saya pun sukses mengejan yang berakibat ketuban saya pecah. Bertambah kaget saat dilihat warna ketubannya sudah kehijauan. Setengah panik kami kembali ke kamar bersalin dan melapor ke bidan. Bu bidan dengan tenangnya bilang kalo semua baik-baik aja, jangan khawatir, waktunya sebentar lagi..

"Walaupun warnanya udah menghijau bu?" 
"Iya, udah tenang aja ya."

Sejauh yang saya baca di blog orang-orang, banyak yang disarankan c-section akibat ketuban menghijau. Tapi demi melihat bidan yang tetap senyum dan tenang, saya pun ikut tenang dan yakin kalo semua insyaAllah baik-baik aja.

Setelah kejadian ketuban pecah itu, rasa mau mengejan jadi melemah. Kontraksi pun jadi makin melambat. Rasa ngantuk yang malah semakin kuat. Mata rasanya udah berat banget, kayaknya bengong 10 detik juga bisa langsung pules.

Sekitar dua jam kemudian, bidan ngecek bukaan lagi. "Bukaannya udah lengkap ya. Tapi bayinya masi agak di atas, belum turun banget. Kita tunggu sebentar lagi ya." Saya baru tahu ternyata bukaan udah lengkap pun bisa belum boleh ngejan. Sayangnya saya udah bener-bener ga kuat nahannya, suka kelepasan satu-dua kali mengejan. 

Akhirnya bidan pun bilang, "You can push whenever you want."

Yes!! Saya push sekuat tenaga.
Sekali.. Dua kali..
Sepuluh kali..

Kok? Ga keluar-keluar bayinya?   

"Ayo dek, rambutnya udah keliatan.." Suami saya memberi dukungan. Begitu pula mama yang mendokumentasikan prosesi ini.

Satu jam terlewati. Nafas saya selalu habis setiap rambutnya-udah-keliatan.

Dua jam.. Tiga jam..

Belum keluar-keluar juga bayinya. 

Kuat sekali kamu nak, bertahan begitu lama di jalan lahir. Bu bidan, yang udah kasihan ngeliat saya ngos-ngosan, akhirnya nawarin infus oksitosin untuk memperkuat kontraksi. Awalnya saya masi kekeuh, mau semuanya sealami mungkin. Tapi setelah bosen ngejan akhirnya saya setuju juga.

Setelah di infus, kontraksi jadi lebih sering. Tapi tetap ga cukup membuat bayi keluar. 

Akhirnya bidan pun menawarkan episiotomi, jalan lahir digunting biar bayi lebih mudah keluar. Saya udah di tahap ga-peduli-lagi-mau-diapain-yang-penting-bayi-lahir. Saya udah ngantuk berat, mau tiduur. Yak, yang saya pikirin cuma satu, lahiran selesai lalu saya mau tidur. Akhirnya gunting menggunting pun dilakukan. 

Bismillah! Saya pun mengejan lagi, sekuat tenaga, selama yang saya bisa. Tiba-tiba terasa seperti ada yang menggelinding keluar.

Bayi saya lahir! 

MasyaAllah, Laahaulawala kuwwata ilabillah..

Bayi montok Bunda

Sedetik kemudian sang bayi diletakan di dada saya, tanpa dibersihkan berlebihan. Dipakaikan topi, masih di dada saya. Ia menangis dengan kuat. Bayi cantik yang montok. 

Resmi sudah sekarang ada manusia kecil yang menjadi tanggung jawab kami.

Suami memotong tali pusatnya, lalu kami menikmati waktu berharga tersebut. Untuk kali pertama, saya bisa melihat wajah manusia kecil yang sepanjang hari menemani saya dengan tendangan-tendangannya.

Perjuangan berjam-jam mengejan rasanya tak ada artinya. Waktu seakan melambat, membiarkan saya menikmati mendekapnya selama mungkin.

Bidan melanjutkan tugasnya; menjahit jalan lahir. Sakitnya dijahit tidak terasa, saya terbius oleh kehadiran bayi di pelukan. Kami pun melakukan Inisiasi Menyusui Dini (IMD), pertanda perjuangan cinta lain baru saja dimulai; menyusui :)

***
Dokumentasi

My little queen

Berat 3400gram, tinggi 48cm

Asiyah bersama Ayah

Our happy faces; 2 hours after labour
Pemandangan dari kamar

Comments

Popular posts from this blog

Persiapan IELTS Tanpa Preparation Class

Jalan-jalan Turki day 1: Ephesus!

Cerita Kehamilan di Indonesia dan Swedia