pertemuan istimewa dengan orang yang istimewa
20 Februari 2011
:)
Dan sungguh benar, bahwa kita dapat belajar dari mana saja. Tanpa ada yang mengajari sekali pun..
Sore ini, seperti janjiku padanya, aku datang mengunjungi rumah itu. Ditengah hiruk pikuk pasar simpang, aku dan saudariku, devy, menyusuri gang sempit yang tersembunyi di deretan toko yang penuh sesak dengan berbagai macam barang.
Ya Allah, jalan ini curam sekali.. bagaimana ia menjalaninya setiap hari..
Aku tak tahu pasti dimana rumahnya, setelah bertanya di hampir setiap persimpangan jalan, dan untungnya semua orang mengenalnya, akhirnya rumah mungil berpintu hijau itu kutemukan. Beliau sedang berada di kamar mandi yang terletak di luar rumah, pintu kamar mandi itu sedikit terbuka.
Ia sedang mencuci.
Melihat kedatangan kami, sinar wajahnya seketika berubah, senyum itu selalu manis, tak termakan usia.
"Eh eneng, ibu lagi nyuci hehe." Ia bergegas mencuci tangannya, dan terseok-seok mengajak kami masuk kedalam rumah.
Panas yang menyengat di jalan berganti dengan kesejukan.
Cerita demi cerita pun ia tuturkan. Entah mengapa ia begitu lancarnya menceritakan segala detil hidupnya. Padahal pertemuanku dengannya dapat dihitung dengan jari.
Seketika aku teringat oma. Sosok penuh kasih, tempat aku dapat dengan puas meledakkan tangisku. Aku ingin menebus kesalahanku. Disaat-saat terakhir hidupnya, aku terlalu larut dalam kegembiraan dunia anak-anak. Sering tak kuindahkan pintanya untuk memijit kaki yang telah sulit digerakan itu, begitu banyak alasan aku tak menemaninya lari pagi. Dan sesak itu selalu muncul tiap mengenangnya.
Ya Allah, aku sayang oma. namun aku yakin, Engkau jauh lebih menyayanginya.. Ampuni segala dosanya, sebesar apa pun itu ya Rabb.. Anugrahkanlah tempat yang terindah disisi-Mu..
Rasanya tak akan sempurna bila kutuliskan apa saja hikmah dari cerita yang ia sampaikan. Dimulai dengan betapa ia merindukan suaminya yang telah pergi mendahuluinya enam bulan yang lalu. Betapa cinta itu terlihat jelas. Air matanya terus menetes saat mengenang belahan jiwa itu. Mulai dari masa perjuangan mereka bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup, sedikit demi sedikit mengumpulkan uang untuk membangun rumah itu, membesarkan anak-anak, hingga bagaimana sang suami menyampaikan pesan terakhir padanya.
Pikirku pun melayang, betapa waktu dapat menjadi begitu kejam. Bahagia itu baru benar-benar terasa saat ia pergi. Namun satu yang dapat melawan kejamnya waktu; syukur. Harus kau genggam kuat syukur itu, karena apa yang dapat kau jadikan bahagia bila syukur tak ada disana?
Setelah mengenang sang suami, ia pun menceritakan bagian yang paling mengiris hatiku. Anak-anak yang ia besarkan dengan bersusah payah; bangun dini hari menyiapkan dagangan, berjualan karedok/kupat tahu/apa saja yang ia mampu, ditutup dengan malam yang letih dan terus berlanjut hingga tubuhnya memberontak; jantung dan kakinya melemah. Namun apa yang mutiara hatinya itu berikan di hari tuanya? Rutin menjenguk pun tidak.
Ia menceritakan bagaimana anaknya berubah setelah menikah. Saat suaminya sakit pun sang anak tidak kunjung datang. Sibuk katanya. Hingga sang suami menghembuskan napas yang terakhir, barulah ia datang.
Pelajaran berikutnya untuk diri ini, jangan sampai cintamu pada pasangan dan anakmu kelak melupakan bakti pada dua manusia berhati malaikat yang telah menjaga dirimu sedari kecil.
Astaghfirullah..
*setelah berbulan-bulan hanya tersimpan di draft..
telah lama aku mencari Bu Osy di tempat biasa ia selalu berjualan, namun sampai sekarang belum pernah bertemu lagi. Semoga tidak ada hal buruk terjadi padanya, semoga hanya waktu yang tidak sesuai yang membuat kita belum bertemu. Ya Rabb.. semoga..
postingan ini lanjutan dari sini
:)
Dan sungguh benar, bahwa kita dapat belajar dari mana saja. Tanpa ada yang mengajari sekali pun..
Sore ini, seperti janjiku padanya, aku datang mengunjungi rumah itu. Ditengah hiruk pikuk pasar simpang, aku dan saudariku, devy, menyusuri gang sempit yang tersembunyi di deretan toko yang penuh sesak dengan berbagai macam barang.
Ya Allah, jalan ini curam sekali.. bagaimana ia menjalaninya setiap hari..
Aku tak tahu pasti dimana rumahnya, setelah bertanya di hampir setiap persimpangan jalan, dan untungnya semua orang mengenalnya, akhirnya rumah mungil berpintu hijau itu kutemukan. Beliau sedang berada di kamar mandi yang terletak di luar rumah, pintu kamar mandi itu sedikit terbuka.
Ia sedang mencuci.
Melihat kedatangan kami, sinar wajahnya seketika berubah, senyum itu selalu manis, tak termakan usia.
"Eh eneng, ibu lagi nyuci hehe." Ia bergegas mencuci tangannya, dan terseok-seok mengajak kami masuk kedalam rumah.
Panas yang menyengat di jalan berganti dengan kesejukan.
Cerita demi cerita pun ia tuturkan. Entah mengapa ia begitu lancarnya menceritakan segala detil hidupnya. Padahal pertemuanku dengannya dapat dihitung dengan jari.
Seketika aku teringat oma. Sosok penuh kasih, tempat aku dapat dengan puas meledakkan tangisku. Aku ingin menebus kesalahanku. Disaat-saat terakhir hidupnya, aku terlalu larut dalam kegembiraan dunia anak-anak. Sering tak kuindahkan pintanya untuk memijit kaki yang telah sulit digerakan itu, begitu banyak alasan aku tak menemaninya lari pagi. Dan sesak itu selalu muncul tiap mengenangnya.
Ya Allah, aku sayang oma. namun aku yakin, Engkau jauh lebih menyayanginya.. Ampuni segala dosanya, sebesar apa pun itu ya Rabb.. Anugrahkanlah tempat yang terindah disisi-Mu..
Rasanya tak akan sempurna bila kutuliskan apa saja hikmah dari cerita yang ia sampaikan. Dimulai dengan betapa ia merindukan suaminya yang telah pergi mendahuluinya enam bulan yang lalu. Betapa cinta itu terlihat jelas. Air matanya terus menetes saat mengenang belahan jiwa itu. Mulai dari masa perjuangan mereka bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup, sedikit demi sedikit mengumpulkan uang untuk membangun rumah itu, membesarkan anak-anak, hingga bagaimana sang suami menyampaikan pesan terakhir padanya.
Pikirku pun melayang, betapa waktu dapat menjadi begitu kejam. Bahagia itu baru benar-benar terasa saat ia pergi. Namun satu yang dapat melawan kejamnya waktu; syukur. Harus kau genggam kuat syukur itu, karena apa yang dapat kau jadikan bahagia bila syukur tak ada disana?
Setelah mengenang sang suami, ia pun menceritakan bagian yang paling mengiris hatiku. Anak-anak yang ia besarkan dengan bersusah payah; bangun dini hari menyiapkan dagangan, berjualan karedok/kupat tahu/apa saja yang ia mampu, ditutup dengan malam yang letih dan terus berlanjut hingga tubuhnya memberontak; jantung dan kakinya melemah. Namun apa yang mutiara hatinya itu berikan di hari tuanya? Rutin menjenguk pun tidak.
Ia menceritakan bagaimana anaknya berubah setelah menikah. Saat suaminya sakit pun sang anak tidak kunjung datang. Sibuk katanya. Hingga sang suami menghembuskan napas yang terakhir, barulah ia datang.
Pelajaran berikutnya untuk diri ini, jangan sampai cintamu pada pasangan dan anakmu kelak melupakan bakti pada dua manusia berhati malaikat yang telah menjaga dirimu sedari kecil.
Astaghfirullah..
*setelah berbulan-bulan hanya tersimpan di draft..
telah lama aku mencari Bu Osy di tempat biasa ia selalu berjualan, namun sampai sekarang belum pernah bertemu lagi. Semoga tidak ada hal buruk terjadi padanya, semoga hanya waktu yang tidak sesuai yang membuat kita belum bertemu. Ya Rabb.. semoga..
postingan ini lanjutan dari sini
subhanallah.. baca 2 postingannya, jadi banyak refleksi..
ReplyDeletebener banget, sungguh hikmah itu tersebar di sekeliling kita. kadang hanya butuh hati yang jernih untuk mampu membacanya..
harus banyak2 evaluasi, ujian yang menimpa kita bisa jadi memang belum seberapa..
makasih sudah mengingatkan lewat tulisannya ie.. :)